Jakarta – Ketika media sosial sudah mulai mengiklankan sirup berbagai merk, saat itu menjadi penanda bulan puasa akan atau telah tiba. Begitulah kira-kira nalar visual kita bekerja. Nalar visual bukan suatu yang alamiah, namun diproduksi secara masif seperti halnya iklan-iklan Ramadhan yang memenuhi layar televisi.
Dan, hari ini nalar visual kita telah berubah. Sejak merebaknya penggunaan gawai di seluruh lapisan masyarakat, layar televisi perlahan terganti dan di dalam dunia gawai ini arus visual semakin tak terbendung. Di dunia inilah kita menjadi produsen visual itu sendiri. Kegiatan selama Ramadhan menjadi bahan utama untuk memenuhi visual-visual di media sosial, bisa menjadi sebuah informasi atau hanya perkara eksistensi.
Memasuki bulan suci tahun ini, pandemi masih juga belum berakhir. Lalu lintas media sosial semakin padat, semua persoalan perdebatan ada di sana, mulai isu dilarang mudik, kontradiksi kebijakan Lebaran, hingga vaksin pada saat puasa, dan diperkirakan media sosial terus akan ramai, seolah kita lupa bahwa bulan Ramadhan melatih keheningan untuk mendengarkan suara hati kita.
Selama ini suara hati bisa jadi tak terdengar karena polusi visual dan narasi di dalam media sosial begitu riuh dan sibuk. Berpuasa sambil tetap memproduksi kegaduhan melalui narasi dan visual di dalam media sosial seakan mendisrupsi esensi puasa itu sendiri sebagai ikhwal tentang mengelola hasrat diri.
Menjadi sebuah pertanyaan mendasar, sejauh mana puasa kita mampu menjadi refleksi diri untuk bijak bermedia sosial untuk menuju keugaharian visual? Yaitu situasi ketika kita mengetahui batas dalam mencapai kesederhanaan baik dalam eksistensi kita di dalam dunia nyata maupun dunia maya.
Migrasi Layar
Hal umum dalam pandangan kita bahwa bermedia sosial memiliki dua realitas, positif dan negatif. Positif, di mana akses informasi melimpah, demokratisasi terwadahi, hingga ekspresi terpenuhi. Negatif jika penggunaannya disalahgunakan sebagai doktrinasi dan penyebaran informasi yang bernada provokatif hingga kebohongan (hoaks) yang menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Memandang media sosial tentu bukan hanya perkara sebuah media komunikasi jejaring digital. Kita sedang mengalami masa migrasi besar-besar dari budaya layar televisi menuju budaya layar tangan atau gawai. Proses migrasi yang perlu digarisbawahi yaitu budaya layar telah masuk lebih mendalam ke ruang-ruang privasi yang tak dimiliki akses informasi pada televisi. Di dalam ruang privasi inilah yang harus menjadi perhatian terutama pada masyarakat kita yang masih sangat jauh dari budaya literasi layar.
Layar visual media sosial kita bukan hanya berfungsi sebagai mirror of reality , namun lebih membahayakan yaitu ketika arus komunikasi media sosial menjadi distorted of reality, yaitu refleksi dari sebuah realitas yang palsu dan menyesatkan. Kita tentu ingat narasi hoaks yang meledak di pemilu tahun tahun lalu adalah fungsi dari media sosial sebagai distorted of reality. Segala ‘sampah-sampah visual’ di beranda media sosial menumpuk dan tak disediakan tempat pembuangannya. Segala emosi tertumpah, bagi masyarakat awam dan tidak ikut dalam sebuah kontestasi ikut menjadi korban ‘teror visual’.
Migrasi besar-besaran ini harus diimbangi literasi digital baik yaitu sebuah kemampuan menangkap informasi dengan mempertimbangkan kedalaman dan substansi serta mampu memilah dan memilih informasi untuk kebaikan diri dan kemaslahatan.
Kemampuan literasi digital didukung oleh kemampuan nalar akademik (keilmuan) dan nalar spiritual (religiusitas). Kedua nalar ini dapat kita tempuh melalui jalan pendidikan, dan puasa di bulan Ramadhan adalah waktu terbaik itu. Kita juga tidak hanya menahan makan dan minum, tapi menahan diri untuk tidak memproduksi atau menyebarkan narasi visual yang mengandung distorted of reality di dalam media sosial kita.
Jika ditarik lebih luas, berpuasa adalah ‘madrasah’, yaitu tempat belajar untuk membuang ‘sampah visual’ pada tempatnya.
Damar Tri Afrianto dosen Prodi Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Telkom Purwokerto
Simak Video: Jangan Lupa! Bijak Menggunakan Medsos Saat Puasa
(mmu/mmu)