Toleransi Media Sosial, Perlunya Komunikasi Multikultural Dibawah Normal Baru

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan suku bangsa, sehingga negara kita tercinta ini disebut sebagai negara multikultural. Sebagai negara multikultural, seharusnya memiliki potensi untuk menjadi masyarakat yang lebih inovatif dan kreatif dengan berbagai ide yang berbeda.

Sayangnya, hal ini juga membuat Indonesia rentan terhadap konflik antar suku, ras, dan agama. Minimnya pemahaman tentang keberagaman masyarakat Indonesia membuat konflik ini semakin nyata, dan penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian di media sosial memperparah konflik tersebut.

Di masa pandemi COVID-19, penggunaan media sosial meningkat, seperti penggunaan aplikasi WhatsApp dan Instagram yang meningkat 40%. Pasalnya, banyak pengguna yang menggunakan media sosial untuk berkomunikasi di masa pandemi.

Pada dasarnya, meningkatnya penggunaan media sosial di era new normal diharapkan dapat memperkenalkan keragaman budaya Indonesia. Namun, harapan ini jauh dari kenyataan sosial.

Media sosial digunakan sebagai ajang konfrontasi dan penyebaran isu-isu yang memecah belah masyarakat Indonesia. Akibat minimnya literasi pengguna, banyak terjadi intoleransi di media sosial, sehingga kurang bijak dalam menggunakan media sosial. Sifat etnosentrisme yang mengakar menjadi sumber berbagai perselisihan.

Informasi yang terus menerus disebarluaskan tanpa adanya penyaringan terlebih dahulu, semakin mudah diakses oleh netizen, semakin mudah pula menyebarkan berbagai hoax atau berita bohong.

Akibat pengguna media sosial yang tidak bijak, intoleransi multikultural bisa terjadi dalam beberapa kasus. Tidak semua orang terpelajar bisa bertingkah laku seperti orang terpelajar.

Bukan tidak mungkin bagi kita untuk meminimalisir intoleransi di media sosial, apalagi kita sebagai masyarakat multikultural sudah terbiasa dengan perbedaan. Dalam menyikapi informasi yang disebarluaskan, kita harus bisa menghindari sifat ekstremisme, aktivisme, dan ujaran kebencian.

Penggunaan aktif media sosial di bawah normal baru telah sangat meningkat. Visi masyarakat dalam membaca berita harus ditingkatkan, sebagaimana ditegaskan oleh data survei Program for International Student Assessment (PISA), yang menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara atau memiliki tingkat literasi yang rendah. Publik harus bisa melihat berita mana yang diverifikasi, bukan membedakan antara berita yang kredibel dan palsu.

Bijaksana di media sosial juga menjadi dasar untuk meningkatkan toleransi media sosial. Tidak terlalu reaktif dan netral terhadap pemberitaan merupakan salah satu wujud nyata kohesi masyarakat di bawah new normal.

Sebagai agen perubahan, kita Generasi Z harus bisa berpikir lebih luas dan lebih terbuka dari sebelumnya untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan lebih maju dalam hal kebhinekaan, dan menjadikan kebhinekaan bukan halangan, melainkan keunikan yang dimiliki negara lain yang memiliki nilai tambah.

WhatsApp Perkenalkan Fitur Musik di Status, Bikin Update Kamu Makin Seru!

JariBijak.com - WhatsApp selalu berusaha menghadirkan pengalaman terbaik bagi penggunanya, terutama generasi milenial dan...

Prabowo Subianto Resmi Lantik Staf Khusus Presiden dan Kepala Badan Kabinet Merah Putih: Langkah Baru #BerharapUntukIndonesia

JariBijak.com - Hari ini, Selasa, 22 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto resmi melantik jajaran...

#BerharapUntukIndonesia Prabowo Resmi Lantik 109 Anggota Menteri dan Wamen Kabinet Merah Putih, Ini Daftarnya

Jaribijak.com - Presiden Prabowo Subianto baru saja mengumumkan susunan kabinet baru yang dikenal sebagai Kabinet...

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here