Jakarta – Diskursus soal buzzer yang menyerang orang berbeda pendapat di media sosial kembali mengemuka seiring dengan pernyataan pemerintah yang siap dikritik keras demi pembangunan terarah. Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, meminta pemerintah membangun suasana yang membuat masyarakat tidak takut dalam menyampaikan pendapat.
Dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (9/2/2021), Alissa Wahid awalnya berbicara mengenai fenomena digital mobocracy yang terbilang mengerikan. Dia mencontohkan seorang yang berbeda pendapat diserang buzzer secara brutal di media sosial.
“Mobocracy itu artinya berkuasa karena mob, contohnya misalnya kalau mobocracy itu kan contohnya kasus, ada kasus mau diputus hakim lalu di luar itu. Contoh paling gampang judicial review UU PNPS Tahun 2010 di MK, MK akan bersidang di luar ada demo gede-gedean akhirnya keputusan hakim pasti dipengaruhi ribuan orang yang ada di luar. Itu kan artinya mobocracy,” ujar Alissa.
“Sekarang digital mobocracy itu seperti itu, ngeroyok orang di dunia digital dan itu brutal karena kalau di lapangan kan orangnya ada, kalau di digital kan satu orang pegang banyak akun. Jadi ibaratnya kalau demo langsung di lapangan orangnya seribu ya seribu walaupun mungkin ada sebagian yang dibayar ya untuk demo tapi kan ada orangnya seribu,” sambung Alissa.
Alissa kemudian bercerita saat dirinya juga mengalami serangan dari para buzzer yang tidak setuju dengan pendapatnya. Padahal, kata dia, apa yang disampaikannya itu semata-mata hak sebagai warga negara untuk berpendapat sebagaimana dijamin konstitusi.
“Saya berulang kali saya pernah diserang oleh pendukungnya Pak Jokowi, saya pernah diserang sama pembencinya Pak Jokowi. Saya pernah pokoknya apa…. Ketika saya menyetujui apa yang disampaikan pak Ahok, orang-orang yang anti-Pak Ahok menyerang saya, ketika saya mengkritik Pak Ahok, orang-orang yang pro Pak Ahok menyerang saya, jadi itu digital mobocracy,” tutur Alissa.
Mengenai pernyataan Presiden Jokowi yang meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan masukan, Alissa berharap hal itu dikelola dengan baik lewat pembangunan iklim yang sehat agar masyarakat tidak takut berpendapat. Jangan sampai, kata Alissa, hal itu menjadi omongan belaka.
“Kalau menurut saya kalau memang Pak Jokowi serius ingin, saya nggak tahu nih apakah ini ada hubungannya dengan indeks demokrasi Indonesia yang turun, pernyataan dari Pak Jokowi itu apakah bagian dari upaya untuk memperbaiki kualitas demokrasi, kalau memang iya berarti itu baik tetapi disiapkan mekanismenya sehingga memang dibangun apa namanya suasana kultur, iklim yang di mana orang tidak takut berpendapat,” tutur dia.
“Jangan sampai kejadian seperti Ravio seperti teman-teman yang lain, yang kritis kemudian tiba-tiba ada kasus atau ada yang aneh-aneh di luar pakemnya menurut saya yang seperti itu Pak Jokowi perlu memerintahkan kepada pembantu-pembantunya untuk memastikan bahwa memang hak berpendapat, bersikap kritis tidak ditolak bahkan itu menjadi bagian penting jalannya pemerintahan masukan-masukan itu diterima,” lanjut Alissa.
Alissa mengaku pernah beberapa kali termasuk rombongan yang diundang oleh Presiden Jokowi untuk memberikan masukan. Dalam pertemuan itu, Jokowi memang mau mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Namun dia berharap apa yang diinginkan Jokowi itu terlaksana sampai di lapangan.
“Pak Jokowi memang benar-benar dengar, mendengarkan kita, perkara setelah itu digunakan oleh beliau atau tidak itu urusan lain, tapi bahwa memang beliau mau mendengar masalahnya pemerintahnya anak buahnya birokrasinya bisa nggak menjamin itu. Harus Pak Jokowi yang mengendalikan supaya nanti apa yang beliau sampaikan terkonsolidasi sampai bawah,” tutur Alissa.