Akademis Universitas Indonesia, Ade Armando, dikeroyok massa hingga babak belur di tengah aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (11 April 2022). Kejadian itu menjadi topik yang trending di Twitter sejak kemarin hingga Selasa ini. Di Google Trends, media mainstream mempublikasikan peristiwa itu. Aplikasi Tiktok juga tak ketinggalan.
Di Twitter dan Tiktok, berdasarkan observasi penulis, video Ade Armando dipukul hingga berdarah-darah, serta ditelanjangi beredar bebas. Berbagai komentar muncul, ada yang berempati, menertawai, menyalahkan, hingga komentar negatif lainnya. Media massa mainstream pun ada yang menampilkan video dan foto Ade Armando berdarah-darah, beberapa sudah memblur serta memberikan foto hitam putih terkait kekerasan itu.
Rendahnya tingkat kesopanan warganet
Peristiwa yang menimpa Ade Armando mengingatkan saya pada sebuah riset dari Microsoft berjudul “Digital Civility Index (DCI)” yang dirilis tahun 2020. Riset itu mengumumkan, tingkat kesopanan netizen Indonesia terendah di Asia Tenggara. Tahun 2021, Microsoft kembali merilis riset DCI dan mengumumkan bahwa netizen makin tidak sopan saat pandemi Covid-19. Indikator kesopanan online di antaranya, menurunnya sikap saling membantu, rasa kebersamaan, dan saling mendukung (CNN Indonesia, 2021).
Penulis berasumsi, riset itu benar adanya dalam konteks di Indonesia. Belajar pada kejadian Ade Armando, tingkat kesopanan warganet tampaknya sedang diuji kembali.
Setiap warga negara memang berhak untuk berekspresi di dunia maya. Hak berekspresi ini berupa hak untuk berpendapat, mengeskspresikan sesuatu hal, serta menerima informasi.
Semestinya, hak berekspresi dibarengi dengan penerapan etika digital. Sederhananya, kalau berbicara etika, kita sebagai warganet bisa membedakan hal yang baik dan buruk di dunia digital.
Berdasarkan Modul Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) (Literasidigital.id), etika digital berkaitan dengan kemampuan individu memahami etika berinternet; pemahaman mengenai konten positif dan negatif di dunia maya; cara berinteraksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi di dunia maya; serta bertransaksi aman di dunia maya.
Etika digital ini sangat penting, tak hanya dipelajari, namun diinternalisasi dalam diri masing-masing, karena kita berinteraksi dengan makhluk nyata di dunia maya.
Etiket berinternet sering dikenal dengan nama netiket (network etiquette). Netiket ini biasanya berupa aturan tidak tertulis berinternet, seperti menghargai orang lain, tidak berkata jorok, mengembangkan rasa toleransi, dan sebagainya.
Kendati tidak tertulis, etiket ini pastinya sudah dipahami oleh masing-masing individu, karena sejak dini sudah diajarkan hal-hal ini. Sayangnya, semakin canggih teknologi dan beragamnya media sosial, etiket ini mulai luntur.
Dalam kasus Ade Armando, misalnya. Penulis melihat hak bereskpresi ini digunakan oleh netizen. Mereka bisa mengunggah apa pun, berkomentar menurut perspektif mereka, membuat meme, dan lain sebagainya atas kasus yang menimpa Ade Armando.
Sayangnya, banyak konten yang tidak disaring. Alhasil, konten yang kurang sesuai pun bertebaran di jagad dunia maya seperti konten perundungan (cyberbullying), konten vulgar, hingga konten ujaran kebencian.
Etika digital ini semestinya perlu dipraktekkan ketika warganet menggunakan media sosial pribadinya. Berpikir untuk kebersamaan, kerukunan, serta penghargaan pada martabat manusia tentunya adalah hal yang perlu diinternalisasi dalam diri masing-masing individu ketika berada di dunia digital.
Perlu untuk menyaring konten, mana konten yang layak dan tidak, konten yang memicu konflik dan tidak, konten yang menghina ataupun tidak, dan konten-konten lain yang akan diunggah. Penyaringan konten ini menjadi bagian dalam refleksi individu sebelum mengunggah kontennya. Dan tentunya, sebelum menggungah konten, masing-masing individu sudah berpikir atas dampak pada konten yang diunggahnya.
Bisa membedakan konten positif dan negatif di dunia maya menjadi hal penting lain. Konten positif tentunya adalah konten yang wajib diunggah karena memiliki kebermanfaatan pada orang lain. Konten positif menghindarkan pengguna dari jeratan hukum UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Mari menengok pengalaman di Indonesia, UU ITE ini sudah menjerat beberapa pihak karena memproduksi konten negatif di dunia maya.
Netizen perlu menyadari juga bahwa di dunia maya mereka berinteraksi dengan siapapun. Netizen pun tidak akan paham jejak digitalnya akan sampai ke tangan siapa. Jejak digital inilah yang perlu diwaspadai dan dipikirkan matang-matang oleh netizen pembuat konten. Bisa saja, konten yang diproduksi dimanfaatkan oknum tidak bertanggungjawab untuk menjatuhkan orang lain.
Naluri jurnalistik menjadi kunci
Penulis memiliki riset sederhana tentang bagaimana seorang content creator menerapkan etika digital. Kita tahu bahwa content creator saat ini tengah diminati karena menggiurkan secara penghasilan. Berdasar riset sederhana ini, beberapa responden, yakni content creator mengaku tidak memahami definisi etika digital dan bentuknya.
Mereka yang kategorinya generasi milineal itu mengaku baru belajar etika ketika kontennya diperingatkan. Uniknya lagi, justru yang terpenting adalah konten menarik terlebih dulu ketimbang konten positif dan bermanfaat.
Berdasar riset itu, penulis berasumsi bahwa etika digital masih jauh dari praktik pembuat konten. Kemampuan untuk mengevaluasi konten yang diunggah sepertinya terjadi setelah mereka jera pada sanksi yang diberikan. Kalau tidak ada sanksi, ada kecenderungan konten yang dihasilkan hanya memenuhi unsur menarik saja, dan tentunya bisa konten negatif juga.
Dalam perspektif jurnalistik, content creator ini adalah jurnalis warga yang memproduksi konten dan membagikan kontennya di dunia digital. Content creator bisa siapapun. Mereka tak hanya memiliki misi menyebarkan informasi, tetapi juga bisa berfungsi untuk mendidik, memobilisasi, mentransfer nilai-nilai budaya, hingga menghibur.
Bagi penulis, nalar jurnalistik meski bisa dijalankan oleh semua content creator. Nalar jurnalistik berkaitan dengan bagaimana kita sebagai jurnalis warga bisa memberikan informasi yang menyejahterakan masyarakat bersama.
Tentunya dalam memberikan informasi perlu dibarengi kode etik, seperti tidak mengandung hoaks, harus akurat, harus benar, harus menghormati privasi orang lain, tidak merendahkan martabat orang lain, dan menyamarkan luka korban. Anda bisa cek di Kode Etik Jurnalistik yang tentunya sangat relevan untuk dijalankan para content creator.
Proses seleksi konten juga menjadi bagian dalam kerja jurnalistik. Tentu saja, hal ini juga bisa diterapkancontent creator. Melihat kembali apa urgensi dari konten yang diunggah, pentingnya apa bagi netizen lain, hingga dampaknya, harus terus dipraktikkan. Alhasil, tak hanya konten menarik saja, tetapi harus relevan bagi kehidupan publik.
Hal terakhir yang paling penting adalah hati nurani. Dalam kerja jurnalistik, hati nurani harus selalu dikedepankan. Dengan kepekaan hati nurani, jurnalis memiliki tanggung jawab moral pada publiknya. Tentunya, para content creator juga diharapkan bisa mengedepankan tanggung jawab moral dalam memproduksi kontennya.
Nalar jurnalistik mungkin saja bisa membantu para content creator untuk lebih bijak menggunakan media sosial. Dengan demikian, kita berharap dalam riset Microsoft soal kesopanan netizen Indonesia akan berubah di tahun-tahun mendatang.