Jakarta – Beberapa tahun yang lalu saya sempat terlibat dalam sebuah project pembuatan website untuk menampung laporan ujaran kebencian (hate speech) dan diskriminasi. Project itu diinisiasi karena maraknya penggunaan kebencian dalam kehidupan sosial politik kita dalam pilkada dan pilpres. Ternyata, hal itu tidaklah mudah.
Persoalan pertama yang kami hadapi saat itu adalah persoalan definisi, khususnya terkait hate speech. Apa sih kriteria sebuah ucapan bisa disebut sebagai hate speech?
Hate speech memang bukanlah kosa kata yang baru. Namun sebagai bahasa percakapan sehari-hari baru muncul belakangan. Penggunaan sentimen kebencian untuk menggerakkan massa adalah awal di mana hate speech kerap kali disematkan.
Kata hate speech biasanya diidentikkan dengan istilah hoax yang merujuk pada informasi palsu. Penggunaan kedua istilah ini sebenarnya sangat berbeda. Misalnya, hate speech tidak selalu diawali dengan kebohongan. Meski banyak dijumpai hate speech diawali dari manipulasi informasi yang kemudian diistilahkan sebagai hate spin.
Untuk memecahkan persoalan definisi, berbagai lembaga yang concern pada persoalan internet sehat kami ajak untuk berdiskusi. Para akademisi dan lembaga negara berwenang pun kami libatkan. Kami juga menimbang definisi menurut surat edaran Kapolri tahun 2015. Hingga tenggat yang ditentukan, rimba definisi urung mampu kami pecahkan karena terus diperdebatkan. Titik perdebatannya seputar pertanyaan, apakah mengutarakan kebencian bisa disebut sebagai hate speech? Jika demikian, bagaimana dengan forum-forum internal ideologis yang pada dasarnya menyeru pada kebenaran kelompoknya dengan menyalahkan yang lain?
Setelah menimbang banyak hal kami menemukan titik temu. Kami membedakan kata “benci” dengan “ujaran kebencian”. Apa yang membedakan? Hal paling mendasar adalah call to action, adanya ajakan pada tindakan kekerasan terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan identitas primordial. Misalnya, ajakan untuk memukul seseorang atau kelompok karena suku, agama, gender, ras, atau pun lainnya.
Website itu pun akhirnya diluncurkan. Kami melakukan sosialisasi di berbagai komunitas dan media dengan melibatkan volunteer. Tantangan demi tantangan kami temui. Ternyata, memberikan pemahaman kepada publik memiliki tingkat kesulitan tersendiri dibanding saat “menyetujui” definisi itu di forum diskusi. Terbukti, sebagian besar informasi yang “dilaporkan” publik pun lebih banyak kata benci daripada ujaran kebencian.
Pengalaman itu memberi gambaran bahwa literasi digital masih menemui jalur yang sangat panjang. Ditinjau dari sudut pandang mana pun dunia digital masih barang baru bagi sebagian besar masyarakat kita. Sesuatu yang di “dunia nyata” dianggap biasa bisa jadi terkesan berbeda ketika dibawa ke “dunia maya”. Edukasi di level kultural dan struktural mesti berjalan beriringan agar tujuan “internet sehat” bisa tercapai di masa mendatang.
Tentu saja itu tidak mudah. Ruang publik kita adalah ruang pertarungan banyak kepentingan. Media sosial telah meruntuhkan sekat-sekat antara masyarakat sipil (civil society), negara (state), dan pasar (market). Jika dulu Habermas menyebut bahwa ruang publik adalah domain publik, maka hari ini pendapat itu tidak lagi relevan dalam konteks praktik bermedia sosial.
Kita mengenal istilah buzzer untuk menyebut individu atau kelompok yang mendengungkan satu wacana. Dulu, orang menggunakan jasa jual beli akun untuk menambah follower dan meningkatkan engagement. Tujuannya untuk menjadi mikroselebriti yang punya nilai iklan tinggi saat meng-endorse satu produk. Hari ini pasar pendengung tidak hanya dipakai untuk kepentingan ekonomi karena digunakan banyak pihak dalam konteks ideologis dan politis.
Kita bisa mengamatinya dalam trending topic di media sosial setiap hari. Tagar mendukung dan mengkritik (bahkan menghujat) pemerintah bersahut-sahutan. Sepertinya hanya kekuatan sinetron Ikatan Cinta yang mampu menggeser percakapan politik itu, juga hiruk pikuk fans K-Pop yang sangat menghibur.
Di tengah bermacam persoalan itu, ada satu tantangan lagi di mana lembaga negara tidak lagi menggunakan tangan buzzer untuk membangun wacana. Munculnya patroli siber menyeret kita pada satu persoalan lain. Pada tahapan tertentu, hal ini bisa mengancam kebebasan berbicara, hal paling istimewa dalam demokrasi.
Polisi Virtual
Seorang warga Slawi, Tegal berinisial AM dimintai keterangan polisi karena mengunggah pernyataan berikut, “Tau apa dia tentang sepakbola, taunya cmn dikasih jabatan saja.” Akun @arkham_87 menulis komentar tersebut di posting-an akun @garudarevolusi terkait permintaan Walik Kota Solo yang baru saja dilantik, Gibran Rakabuming untuk menyelenggarakan final Piala Menpora di Solo.
Menurut kepolisian, pernyataan tersebut mengandung hoaks. Polisi berdalih bahwa tindakan meminta keterangan pemilik akun sudah sesuai dengan kepentingan perundang-undangan dan atas hasil diskusi dengan ahli ITE. Tindakan itu sendiri dilakukan setelah polisi mengirimkan pesan via direct message, namun tak diindahkan oleh “pelaku”.
Setelah mengikuti kasus ini, saya merasa ngeri membayangkan ruang publik kita ke depan. Kita memiliki aparat yang mendapat legitimasi untuk menafsirkan dan melakukan langkah-langkah intimidatif untuk menilai sebuah percakapan. Bagaimana mungkin publik bisa merasa aman untuk menyatakan pendapatnya?
Saya teringat kasus pemanggilan warga di Sulawesi pada Juni 2020 lalu. Pada saat itu seorang warga mem-posting humor Gus Dur yang sangat terkenal tentang tiga polisi jujur. Posting-an itu membuat kepolisian setempat gerah lalu memanggil pemilik akun untuk dimintai keterangan. Jika demikian cara kerja polisi virtual tentu sangat merusak iklim kritik di negara kita.
Gagasan polisi virtual merupakan ide dari Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang diluncurkan pada 24 Februari 2021. Ada dua hal yang menjadi concern polisi digital, yaitu soal edukasi dan mengurangi hoaks. Hal tersebut sangatlah baik mengingat dunia digital kita yang sedang tidak baik-baik saja. Namun jika yang dimaksud adalah praktik patroli siber seperti kasus AM, maka ini merupakan satu kemunduran yang sangat luar biasa dalam demokrasi kita. Pengintaian dalam ruang publik adalah bentuk pengekangan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.
Bagaimana kasus kalimat atau unggahan yang mengarah pidana sebagaimana tujuan polisi virtual didirikan? Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu mendiskusikan seperti apa konten yang mengarah ke pidana. Apa saja indikator-indikatornya dan bagaimana proses untuk menentukan satu unggahan itu mengarah ke pidana. Masyarakat sipil, akademisi, dan berbagai pihak yang concern pada isu internet sehat pun perlu dilibatkan untuk membahas persoalan ini.
Tanpa itu semua polisi virtual hanya akan menjadi duri dalam daging demokrasi. Ia menjadi pengintai yang membuat orang tidak lagi bebas menyuarakan pendapatnya di ruang publik. Sementara hilangnya kebebasan adalah bencana demokrasi yang paling besar.
Sarjoko S pegiat media Jaringan Gusdurian
(mmu/mmu)