JariBijak.com – Teknologi informasi dan komunikasi terus dikembangkan secara serius dan masif. Akses dan kualitas terhadap informasi dan komunikasi semakin meningkat. Produksi dan distribusi informasi berupa teks, gambar, suara dan video melalui fitur-fitur yang tersaji pada perangkat digital dan beragam aplikasi yang dimiliki hanya dengan sentuhan jari. Informasi yang dulu sulit dicari dan didapatkan karena terbatasnya ketersediaan media penyajian, menjadi melimpah ruah.
Bahkan, informasi yang tidak diinginkan pun datang sendiri melalui grup-grup percakapan digital dan akun-akun sosial media yang dimiliki, mulai dari politik, hukum, kriminal, pendidikan, ekonomi, budaya, agama, gosip, bencana, undian berhadiah hingga promo diskon. Kendati demikian, informasi-informasi yang beredar dan melimpah ruah tersebut masih tercampur baur antara yang hoaks dan tidak hoaks, antara yang positif dan negatif.
Hasil survei APJII (2022) menyebutkan bahwa tingkat penetrasi internet di Indonesia pada 2022 sebesar 77,02 %. Selain itu, dua konten yan paling sering diakses adalah media sosial sebesar 89,15% dan percakapan daring sebesar 73,86%. Dua jenis konten tersebut merupakan sumber produksi konten terbesar di ruang digital.
Internetlivestat (2022) melaporkan per hari ada sekitar 727 juta tweet yang dikirimkan, 85 juta gambar yang diunggah ke Instagram, 7 juta tulisan yang dikirimkan ke situs daring. Itu semua tentu mengandung informasi, entah valid atau hoaks, entah edukatif atau destruktif.
Akses dan fasilitas digital untuk memproduksi dan mendistribusikan informasi itu juga didukung oleh banyaknya pengguna internet. Data yang dikemukakan We are Social Hoousuite (2022) mengungkapkan bahwa per Februari 2022 di Indonesia terdapat sekitar 73,7% atau setara 204,7 juta pengguna internet. Dengan kata lain, mayoritas penduduk adalah pengguna internet, produsen sekaligus distributor informasi di internet.
Kecenderungan pengguna untuk mengunggah serta membagikan berbagai informasi melalui berbagai akun sosial media yang dimilikinya sebagaimana tersebut di atas semakin mempercepat bertambahnya limpahan dan kompleksitas informasi yang beredar. Demikian juga dengan kompetisi antar-situs dalam meningkatkan jumlah kunjungan (clickbait) melalui tawaran sajian informasi dengan perspektif yang berbeda, tampilan yang menarik hingga judul-judul yang unik dan bahkan bombastis.
Kondisi demikian tidak jarang membuat pembaca menjadi bingung untuk membedakan tingkat validitas suatu informasi dan menjadi sulit untuk menarik intisari informasi itu. Chen dkk (2014) mengungkapkan bahwa tantangan terbesar di era informasi melimpah ini bukan terletak pada usaha mendapatkan akses, melainkan pada bagaimana menyaring limpahan informasi itu hingga mendapatkan intisarinya. Menyaring informasi bukan sekedar memberikan batasan dengan menggunakan kata kunci tertentu melainkan juga memilah antara yang valid dan tidak valid.
Campur aduknya informasi yang tersaji di ruang digital itu membuat ruang digital menjadi tidak sehat dan kondusif untuk pengembangan pengetahuan dan karakter serta sebagai media perekat persatuan antar beragam anak bangsa. Oleh karena itu, mewujudkan ruang digital yang sehat menjadi penting. Penguatan literasi digital adalah kuncinya, utamanya pada pilar etika digital (digital ethics).
Strategi Meningkatkan Kualitas
Ruang digital yang sehat merupakan kunci bagi terwujudnya Indonesia yang maju dan berkembang di era digital. Kendati demikian, laporan Kominfo (2022) menunjukkan bahwa indeks literasi digital Indonesia masih berada pada kategori cukup, yaitu 3,49 dari skala 5,00. Selain itu, jumlah informasi hoaks yang beredar di ruang digital juga masih cukup banyak (Kominfo, 2022; Mafindo, 2022).
Strategi yang dapat ditawarkan untuk meningkatkan kualitas ruang digital sebagai ruang yang kondusif untuk mengembangkan pengetahuan, karakter dan hubungan sosial antaranak bangsa; pertama, kolaborasi antar-elemen masyarakat. Ikhtiar mewujudkan ruang digital yang sehat bukan merupakan pekerjaan sederhana dan tanggung jawab individual, melainkan kolektif.
Profil pengguna internet yang beragam mulai dari usia balita hingga manula, mulai dari ibu rumah tangga hingga pejabat negara mengharuskan keterlibatan aktif semua unsur masyarakat dalam mewujudkan ruang digital yang sehat itu. Kolaborasi aktif, terencana, sistematis dan berkelanjutan antara pemerintah dengan berbagai elemen masyarakat, baik individual maupun komunitas atau organisasi untuk melakukan langkah nyata menjadi penting.
Kedua, partisipasi menjadi konten kreator aktif-edukatif. Hiruk pikuk informasi di ruang digital esensinya adalah pertarungan pengaruh antara konten yang sifatnya positif dengan konten yang sifatnya negatif. Hasil Penelitian Khisbiyah dkk (2018) mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan banyaknya pelajar dan mahasiswa yang terpapar konten-konten radikal dan ekstrem adalah karena jumlah konten-konten di ruang digital yang sifatnya edukatif dan moderat itu sedikit dibandingkan konten-konten yang sifatnya radikal dan ekstrem.
Sementara, kelompok pelajar merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling senang berselancar di ruang digital, utamanya media sosial sehingga secara tidak langsung terpapar karena lebih sering melihat atau mengkonsumsi konten-konten radikal dan ekstrim daripada konten-konten yang sifatnya edukatif dan moderat. Oleh karena itu, mendorong aktor-aktor pro ruang digital yang sehat untuk aktif menjadi konten kreator yang edukatif dan moderat menjadi penting.
Ketiga, integrasi nilai-nilai etika digital dalam pelaksanaan pembelajaran. Melimpah dan lengkapnya informasi yang ada di ruang digital menarik minat banyak orang untuk menjadikan internet sebagai salah satu sumber rujukan favorit untuk bertanya, membelajarkan diri dan berkarya melalui tulisan ilmiah (Ridha, 2022). Selain itu, pengintegrasian teknologi informasi dan komunikasi dalam lingkup pembelajaran juga menjadi kebutuhan, bahkan menjadi salah satu program strategis universitas pada banyak perguruan tinggi.
Pelaksanaan pembelajaran dan interaksi pembelajaran melalui media digital seperti Learning Management System (LMS), Zoom, Google Meet, Google Classroom, Facebook Group, Whatsapp Group, Telegram dan sejenisnya dapat dijadikan sarana untuk menyisipkan nilai-nilai etis bermedia digital melalui penyusunan dan implementasi aturan yang etis dalam menyapa, berkomentar, memberikan penjelasan, mengajukan pertanyaan, mengajukan kritik serta saran.
Keempat, penanaman nilai-nilai etika digital sejak usia dini. Pembentukan karakter etis dalam menggunakan media digital untuk mewujudkan ruang digital yang sehat perlu dilakukan sejak usia dini. Mulai dari lingkungan keluarga hingga sinkronisasi visi dan misi antara keluarga, masyarakat dan warga sekolah untuk bersama-sama menanamkan nilai-nilai karakter etis dalam menggunakan media digital.
Menumbuhkan suatu karakter tidak bisa instan, namun memerlukan proses dan waktu yang relatif lama. Secara umum penanaman karakter harus dimulai dari pengenalan, penerimaan, pelaksanaan dan pembiasaan (Krathwohl et al., 1967; Lickona, 2018). Dengan kata lain, anak harus sejak dini dikenalkan dengan nilai-nilai etis dalam menggunakan media digital dan dipastikan bahwa ia menerima bahwa nilai-nilai etis itu baik.
Karakteristik Khas
Penanaman nilai-nilai tersebut juga perlu memperhatikan karakteristik khas generasi digital (Prensky, 2001). McCrindle dkk (2022) mengungkapkan bahwa generasi digital itu unik, Pertama, global, yaitu dibesarkan sebagai bagian dari warga global (global community) karena telah mulai berinteraksi dengan orang dari beragam suku, bangsa, agama dan budaya sejak usia dini.
Kedua, digital, yaitu terlahir di era digital dengan informasi yang melimpah ruah, mudah diakses dan didistribusikan hanya dengan sentuhan jari. Ketiga, social, yaitu terlahir di era media sosial dan terbiasa menggunakan aplikasi percakapan dan media sosial sejak usia dini.
Keempat, mobile, yaitu hampir tidak terpisahkan dengan perangkat gawai, baik saat beraktivitas, bermain, belajar, sebelum tidur dan sesaat setelah bangun tidur. Terakhir, visual, yaitu mayoritas menghabiskan waktunya di depan layar sehingga lebih terbiasa menyerap informasi yang dikemas dalam bentuk visual.
Selain itu, perlu adanya aktor teladan di sekitar anak untuk menjadi contoh (role model) implementasi nilai-nilai karakter etis dalam menggunakan media digital tersebut sehingga secara perlahan diharapkan anak menjadi terbiasa melakukannya saat menggunakan media digital.
Ruang digital akan terus dikembangkan. Masa depan dunia digital yang serba otomatis, serba terkoneksi dan serba digital dengan harapan memudahkan pekerjaan dan aktivitas manusia sehari-hari adalah tujuannya. Produksi dan distribusi informasi yang terus menerus dalam jumlah yang sangat signifikan tidak bisa dihindarkan. Begitu juga dengan peredaran informasi hoaks dan negatif lainnya yang terus bermunculan dengan berbagai motif pembuatan, mulai dari sekadar iseng, ekonomi, politik, agama dan sebagainya.
Literasi digital yang baik adalah modal untuk memperkuat daya tahan di era yang semakin digital ini. Selanjutnya, kolaborasi antar-elemen masyarakat, partisipasi menjadi konten kreator aktif-edukatif, integrasi nilai-nilai etika digital dalam pelaksanaan pembelajaran, dan penanaman nilai-nilai etika digital sejak usia dini dengan memperhatikan karakteristik uniknya adalah ikhtiar potensial untuk mewujudkan ruang digital yang sehat-manfaat. Indonesia terkoneksi yang makin digital dan makin maju adalah harapan bersama.
Baca Juga: 6 Cara Membuat Batasan yang Sehat dengan Media Sosial dalam Hubungan