JariBijak.com – Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan larangan terhadap aplikasi belanja online Temu.
Langkah ini diambil oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop-UKM) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang khawatir terhadap dampak negatif aplikasi tersebut terhadap sektor usaha kecil menengah (UMKM) lokal.
Kebijakan ini didasari kekhawatiran bahwa aplikasi Temu dapat merusak ekosistem bisnis UMKM di Indonesia.
Aplikasi Temu sendiri adalah platform e-commerce yang dimiliki oleh perusahaan retail asal Tiongkok, Pinduoduo Inc.
Aplikasi Temu sendiri mulai beroperasi pada September 2022 dan telah memperluas jangkauannya ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Eropa.
Namun, kehadirannya di Indonesia dipandang sebagai ancaman serius bagi pelaku UMKM lokal karena model bisnisnya yang sangat berbeda dengan e-commerce pada umumnya.
Menurut Menteri Koperasi dan UKM, Fiki Satari, aplikasi Temu telah beberapa kali mendaftarkan mereknya di Indonesia, namun belum diizinkan beroperasi.
Fiki menegaskan bahwa pemerintah perlu lebih waspada terhadap pengajuan izin aplikasi ini. Pasalnya, Temu telah menembus berbagai pasar internasional, termasuk kawasan Asia Tenggara, dengan rencana ekspansi yang semakin agresif.
“Mereka sudah beroperasi di Amerika Serikat dan Eropa, bahkan mulai masuk ke negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. Kita harus waspada agar Temu tidak masuk ke Indonesia,” ujar Fiki seperti dikutip pada Selasa (08/10).
Menkominfo, Budi Arie Setiadi, juga mendukung langkah ini dengan menekankan bahwa aplikasi Temu bisa menghancurkan UMKM jika dibiarkan beroperasi di Indonesia.
Ia menyebut bahwa model bisnis yang diterapkan Temu memungkinkan produk langsung dari pabrik di Tiongkok dijual tanpa perantara. Hal ini berarti, konsumen dapat membeli barang dengan harga jauh lebih murah dibandingkan dengan harga produk lokal.
Salah satu fitur utama aplikasi Temu adalah sistem transaksi yang memotong jalur distribusi tradisional seperti reseller, dropshipper, atau affiliator.
Dengan model ini, barang dijual langsung dari pabrik tanpa komisi berjenjang, membuat harga produk di Temu jauh lebih rendah dibandingkan harga pasar umum.
Inilah yang menjadi sumber kekhawatiran utama pemerintah, karena produk UMKM lokal tidak akan mampu bersaing dengan harga yang ditawarkan Temu.
Fiki Satari menjelaskan bahwa jika aplikasi Temu diperbolehkan beroperasi di Indonesia, UMKM lokal akan berada dalam posisi yang sangat sulit.
Hal ini karena platform tersebut menawarkan transaksi langsung antara produsen di Tiongkok dan konsumen di Indonesia, tanpa peran pelaku usaha lokal.
Akibatnya, harga barang di platform tersebut bisa menjadi jauh lebih murah, dan ini berpotensi mematikan pelaku UMKM yang selama ini bergantung pada model bisnis tradisional.
Untuk mencegah hal ini, Fiki mengusulkan adanya kerjasama antara Kemenkop-UKM, Kemenkumham, Kominfo, serta Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Tujuannya adalah untuk memastikan aplikasi seperti Temu tidak diizinkan beroperasi di Indonesia.
“Sinergi ini sangat penting untuk melindungi pelaku usaha dalam negeri, terutama UMKM,” tegasnya.
Aplikasi Temu sendiri telah menarik perhatian global dengan strategi harga yang sangat kompetitif.
Berdasarkan data dari Statista, aplikasi ini telah diunduh lebih dari 30 juta kali sejak peluncurannya pada tahun 2022.
Temu bahkan sempat menjadi salah satu aplikasi belanja terpopuler di platform App Store dan Google Play di beberapa negara.
Salah satu faktor yang membuat harga produk di Temu sangat murah adalah langsungnya proses transaksi antara produsen dan konsumen.
Barang-barang yang dijual di Temu dikirim langsung dari Tiongkok ke negara tujuan tanpa perantara, sehingga biaya distribusi dapat ditekan.
Selain itu, Temu juga menawarkan diskon besar-besaran dan promosi kilat yang membuat produk mereka semakin diminati konsumen global.
Namun, harga murah yang ditawarkan oleh Temu tidak selalu mencerminkan kualitas produk.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa Temu memungkinkan penjual menawarkan produk tanpa merek, yang meningkatkan risiko peredaran barang palsu.
Hal ini juga menjadi salah satu alasan mengapa aplikasi tersebut pernah mendapat peringatan terkait praktik etika bisnis.
Dalam upaya memperluas pasar, Temu kini sudah beroperasi di lebih dari 40 negara di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat, Eropa, hingga Australia.
Di Indonesia, meskipun belum secara resmi diluncurkan, kehadirannya telah diwaspadai oleh berbagai pihak karena potensi dampak negatif terhadap ekosistem bisnis lokal, terutama UMKM.
Dengan larangan yang diterapkan oleh pemerintah, pelaku UMKM di Indonesia dapat merasa sedikit lebih aman dari ancaman persaingan yang tidak sehat.
Namun, upaya perlindungan ini masih harus terus diperkuat, mengingat perkembangan e-commerce global yang terus melaju cepat.
Baca Juga: Samsung Galaxy S24 FE Resmi Rilis, Ini Spesifikasi, Harga dan Fitur Unggulan :