JariBijak.com – Berbicara tentang sosial media tentunya semua orang sudah tidak asing lagi akan hal tersebut. Dikarenakan hampir semua orang mempunyai akun di media sosial. Entah itu YouTube, TikTok, WhatsApp, Twitter, Facebook dan lain sebagainya. Media sosial menjadi alat interaksi yang sangat praktis, yang pada mulanya misalkan jarak rumah satu dengan yang lainnya berjauhan, kini dengan adanya media sosial bisa berkomunikasi sedekat mungkin hanya dengan hitungan detik.
Filosofi Media Sosial
Media sosial saat ini semakin lama semakin berkembang pesat dan semakin sentral karena telah menjadi bagian dari kehidupan seseorang tentunya. Apalagi semenjak adanya pandemi seperti dua tahun terakhir ini pengguna internet meningkat pesat yang turut meningkatkan penggunaan media sosial. Peran yang paling penting membuat media sosial semakin cepat berevolusi. Evolusi bentuk dari media sosial ini sangat cepat terjadi. Bila diingat secara baik-baik media sosial dalam dua dekade tiba-tiba mengubah cara masyarakat berinteraksi.
Interaksi yang terjadi melalui media sosial tidak lagi satu arah seperti media publikasi konvensional. Setiap pihak kini bisa melakukan interaksi dua arah tanpa halangan. Alhasil, setiap orang bisa semakin kritis terhadap setiap informasi yang didapatkan. Kita semua mungkin sudah mengetahui tentang manfaat media sosial salah satunya sebagai sarana belajar, mendengarkan dan menyampaikan informasi. Dan juga sebagai sarana dokumentasi, administrasi, integrasi dan masih banyak lagi yang lain.
Melihat dampak dari media sosial ini sangatlah banyak mulai dari dampak positif hingga dampak negatif. Adapun dampak positif dari media sosial yaitu memperluas pertemanan dan pergaulan, lebih mudah dalam mengekspresikan diri, lebih mudah cepat tersebarnya berbagai informasi.
Sedangkan dampak negatif media sosial salah satunya bisa menyebabkan adanya konflik dikarenakan banyak nya informasi yang tertuang di dalam media sosial sehingga muncul perbedaan tanggapan tentang informasi tersebut. Ataupun misalnya berkata dan menulis di media sosial dengan sengaja atau tidak sengaja yang sekiranya bisa menyebabkan seseorang atau salah satu pihak maupun kelompok menjadi tersinggung. Hal itulah yang memicu adanya konflik di media sosial.
Berbicara tentang konflik banyak sekali motif konflik di media sosial dengan berbagai macam latar belakang, seperti konflik beragama yang terjadi pada tahun 2016 tentang kasus penistaan agama oleh Ahok sehingga divonis dua tahun penjara.
Latar belakang kasus ini bermula ketika Ahok melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu Jakarta, pada 27 September 2016 lalu. Di sana dia menggelar dialog bersama beberapa masyarakat setempat, sekaligus menebar 4000 benih ikan. Dalam sebuah video resmi Ahok meminta warga supaya tidak khawatir terhadap kebijakan yang diambil pemerintahannya jika tidak terpilih kembali. Namun dia menyisipkan surah Al-Maidah ayat 51.
Alih-alih, kalimat yang disampaikan menuai polemik. Semua media online bernama media NKRI menyebarkan video tersebut melalui media sosial. Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan bahwa video Ahok sebagai penistaan agama karena menyinggung surah Al- Maidah 51 pada saat berbicara di Kepulauan Seribu.
Setelah melakukan kajian, MUI menyebut Ahok memiliki konsekuensi hukum. Fatwa MUI membuat sejumlah umat muslim juga melaporkan Ahok ke polisi. Mereka menganggap Ahok telah melakukan penistaan agama terkait kata- kata yang telah dilontarkan itu. Salah satunya front pembela Islam FPI. Dalam pimpinan Habib Muhammad Riezieq Syihab, FPI merupakan garda terdepan untuk meminta aparat kepolisian memeriksa tuntas kasus tersebut.
Mereka menggelar demo di depan balai kota DKI Jakarta pada 14 Oktober 2016. Karena merasa tidak ditanggapi, mereka lantas mengumumkan akan menggelar demo lanjutan, aksi ini diberi nama demo bela Islam jilid 2 yang telah digelar pada 4 November 2016.
Dalam kasus ini bisa kita lihat bahwa menyebarnya suatu informasi melalui media sosial sehingga menuai berbagai tanggapan, komentar, ataupun pendapat, tentang sebuah kasus tersebut. Sehingga pada akhirnya memicu sebuah konflik dari berbagai pihak.
Konflik beragama yang lain misalkan seperti Sentimen anti Islam di India yang mungkin akhir akhir ini diperbincangkan di media sosial. Sejumlah polemik Sentimen anti Islam menguat di India yang muncul di era pemerintahan Narendra Modi dan sampai saat ini masih menjadi perbincangan.
Terbaru demonstrasi dan kerusuhan terjadi usai dua politisi partainya Bharatiya Janata melontarkan pernyataan menghina agama Islam dengan merendahkan Nabi Muhammad.
Peristiwa berawal pada saat juru bicara partai Bharatiya Janata BPJ Nupur Sharma mengejek Nabi Muhammad di dalam debat televisi. Ia lalu dikecam dan mendapat hukuman skorsing dari partai akibat tingkahnya tersebut.
Selain Sharma, Staf media BPJ Naveen Kumar Jindal, juga dikeluarkan dari partai tersebut karena telah mengejek Nabi Muhammad di media sosial.
Dari kasus tersebut tampak pihak yang kerap berseteru adalah Hindu radikal dan diam-diam disokong pemerintah. Narendra Modi merupakan ketua Partai Bharatiya Janata di pemerintahannya, ia telah mengubah India menjadi negara nasionalis Hindu yang otoriter. Sikap yang demikian semakin terlihat saat parlemen mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif.
Menurut laporan institut internasional Studi Strategis IISS, kebijakan itu di antaranya adalah amandemen Undang-undang kewarganegaraan nasional yang dianggap mendiskriminasi umat Islam, dan penghapusan ketentuan otonomi yang diberikan ke Jammu dan Kashmir satu satunya negara bagian mayoritas muslim di India.
Keriuhan Media Sosial Dalam Konteks Beragama
Bagaimana keriuhan ini di media sosial terkait sentimen anti Islam yang menjadi agenda justru diperluas oleh media sosial di India dan bagaimana pantauan kasus ini di lini Tanah Air?
Tanggapan Pengamat media sosial sekaligus Founder Drone Emprit Ismail Fahmi, “Di Indonesia bisa kita lihat memang muncul trend boikot India, dan juga cukup banyak masyarakat Indonesia yang menyuarakan aspirasinya supaya pemerintah segera memberi respons dengan cepat terkait kasus ini. Akan tetapi sudah banyak beberapa narasi yang muncul bahwa pemerintah akan segera merespons kasus tersebut. Media sosial ini menjadi salah satu dilema, di satu sisi akan menjatuhkan netizen, tapi di sisi lain akan bersifat kontroversial seperti hoax, dan juga menimbulkan interaksi yang berlebih”.
Bagaimana kemudian menyikapi konflik di media sosial ?
Kita bisa menarik kesimpulan lebih luas terkait hal ini. Sering sekali kita perlu melihat akar masalah, kemudian lokasinya di mana, dan setelah itu kita bisa melibatkan pemerintah yang berusaha untuk memecahkan masalah tersebut, melalui kerja sama dengan para tokoh agama, tokoh masyarakat.
Dalam konteks ini misalnya, yang dilakukan adalah berencana untuk memanggil pemerintah India supaya bisa menyampaikan pernyataannya sesuai sentimen anti Islam ini. Dan kalau misalkan kasusnya di Indonesia, penting sekali kita untuk kemudian melihat tokoh siapa, atau organisasi apa yang perlu dilibatkan untuk mengecam kasus tersebut.
Dan hal itu harus dilakukan dengan sangat cepat kalau tidak demikian, maka kasus tersebut bisa menimbulkan berita hoax jika belum ada tindakan yang komprehensif. Melibatkan banyak pihak yang tepat, dengan respons yang bijaksana terkait kasus tersebut. Jangan sampai menjadi bumerang untuk merespons konflik konflik yang seperti ini.
Solusi Konflik Media Sosial Terhadap Agama
Lalu bagaimana solusi konflik penistaan, dan penghinaan agama di media sosial ?
Terkait hal itu kita semua pasti sudah mengetahui bahwa kita mempunyai payung hukum yaitu UU ITE yang berfungsi menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik dalam hal ini ada keterkaitan dengan interaksi secara online di media sosial.
UU ITE juga menjaga keamanan dari kejahatan di media sosial. Tapi di sisi lain masih sangat perlu penerapan kurikulum semacam bagaimana menggunakan media sosial dengan bijaksana, bagaimana bercerita di dalamnya tanpa harus menyingung salah satu atau berbagai pihak, menyampaikan pendapat dengan sopan di media sosial, dan juga membagikan informasi yang selayaknya di media sosial.
Mungkin bisa kita lihat sekarang ini adanya respons cepat dari masyarakat atau netizen ketika ada informasi yang tidak sesuai dengan pendapat mereka, dan hal itu bisa menimbulkan kerusuhan di media sosial dengan demikian harus segera dihindari.
Edukasi sangatlah diperlukan bagi kita semua sebagai warga negara Indonesia yang baik, yang berkecimpung di dalam media sosial. Semua itu ada aturan yang harus ditaati, ada beberapa hal yang harus dipelajari, ada rambu-rambu yang harus diikuti atau tidak, dan hal itu lewat proses edukasi tentunya.
Baca Juga: Bijak Bermedia Sosial Menurut Islam
Editor: Hegi