Media sosial adalah bagian dari Revolusi Industri Keempat” di abad ke-21 yang menggubah wajah dunia dalam hal berkomunikasi dan berinteraksi. Komunikasi dahulu serba privat, seperti surat-menyurat termasuk surat elektronik (email) atau percakapan telepon. Namun sekarang cara berhubungan bisa berlangsung secara publik.
Media sosial menjadi bagian dari kehidupan seseorang, bukan saja terbatas pada ruang di rumah, kantor, kota tempat tinggal atau negara. Bahkan media sosial menjadi ruang sosial terbesar di mana ada pertemuan antara keluarga, teman kantor, teman sekolah dasar, teman sekolah menengah, teman kampus, mantan pacar, mantan istri, saudara jauh, tetangga hingga nama-nama di dunia maya yang wajahnya Anda tak pernah bertemu langsung di dunia nyata.
Jika dahulu Anda memotret anak-anak Anda untuk memajangnya di ruang tamu rumah, kini Anda merasa senang menyebarluaskan foto Anda bersama anak di media sosial. Album foto jadul kini sudah berganti model menjadi album foto di Facebook atau unggahan Instagram, lengkap dengan lokasi yang presisi. Dari hasil penelitian sebagian besar menggunakan media sosial karena untuk membagi dan melihat foto.
Apalagi di Facebook ada opsi memori yang rutin membagikan kenangan dari foto-foto yang pernah diunggah dan akan terus muncul pada tahun-tahun mendatang. Adik saya berkata, “Facebook berguna untuk menyimpan foto.”
Alasan utama orang menggunakan media sosial adalah untuk berhubungan dengan orang lain. Media sosial bagi sejumlah orang membantu untuk mengenal orang lain lebih baik. Hal ini diungkapkan oleh Daniel Miller dkk yang melakukan riset di sejumlah negara tentang penggunaan media sosial dan menerbitkan buku berjudul, “Bagaimana Dunia Mengubah Media Sosial” tahun 2016 silam.
Lebih dari 50% responden yang disurvei dari negara Cina, India, Cile, Brasil dan Turki mengaku mengenal orang lain lebih baik dari media sosial. Sedangkan responden di Italia dan Inggris hanya di bawah 50% yang mengaku mengenal orang lebih baik dari media sosial.
Membuat bahagia?
Meski memudahkan komunikasi dan interaksi kenyataannya media sosial tidak membuat orang merasa lebih bahagia. Dari negara yang disurvei, cuma India dan Cina yang merasa media sosial membuat mereka lebih bahagia sedangkan repsonden di negara lain seperti Inggris, Italia, Turki tidak merasa pengaruh apapun (no difference). Namun media sosial ternyata memberikan tekanan kepada pengguna untuk terlihat bahagia dan membentuk beban tambahan untuk penampilan di publik.
Daniel Miller, dkk mengutip sejumlah pemberitaan yang menginfokan media sosial rupanya meningkatkan depresi, ketidakpuasan, iri hati, penilaian negatif terhadap bentuk tubuh dan kesepian. Namun ada pendapat lain dari psikolog Wilcox dan Stephen dalam makalah mereka, “Are close friend the enemy? Online social networks, self-esteem and self-control” yang justru menilai media sosial meningkatkan rasa percaya diri bagi si pengguna media sosial sebab pengguna media sosial cenderung menampilkan citra yang positif, pandangan yang cerdas dan secara sosial memberi kesan disukai banyak orang atau secara sosial diterima.
Dari pengalaman pribadi menggunakan Facebook dan Instagram, saya setuju pada pandangan Wilcox dan Stephen itu yakni citra yang positif dan memberi kesan disukai banyak orang. Tiap kali menyusuri Facebook dan Instagram, saya merasa semua teman media sosial terlihat bahagia. Hidup begitu menyenangkan dengan beragam aktivitas sosial, liburan keluarga, kuliner yang terlihat menggiurkan serta wajah-wajah dalam foto yang tak pernah terlihat menua dan beruban.
Menatap kebahagiaan dunia maya ini, sering sekali saya menjadi seperti responden Daniel Miller dkk yang merasa memiliki pandangan negatif terhadap tubuh yang menggemuk, uban yang berlomba-lomba muncul memenuhi kepala dan keriput demi keriput yang tak mampu diredam krim malam ratusan ribu rupiah. Saya tidak depresi atau sampai iri hati, tidak…. tetapi ya betul, ada kesamaan seperti yang disebutkan dalam buku Daniel Miller tersebut.
Saya kerap penasaran, apakah dunia maya yang saya nikmati ini ‘maya’ betulan atau dunia nyata? Apakah status-status bahagia dan kata-kata positif yang saya baca atau foto-foto senyum dan tertawa yang saya lihat itu adalah bagian dari upaya memberikan citra pandangan yang cerdas dan positif seperti yang diuraikan Wilcox dan Stephen? Ternyata saya menemukan informasi, berdasarkan penelitian Fahmi Gunawan, dkk yang dibukukan dengan judul, “Religion Society & Social Media” yang diterbitkan Agustus 2018 silam, media sosial juga digunakan untuk berdakwah baik oleh mahasiswa yang mengikuti Hizbut Tharir maupun oleh para perempuan bercadar.
Sejumlah perempuan bercadar mengaku mengunggah foto-foto diri mereka sekaligus kata-kata yang bermanfaat agar orang termotivasi memakai cadar. Namun ada pula yang tidak membagikan foto diri mereka tetapi hanya membagikan kata-kata dakwah saja. Artinya, pendapat Wilcox dan Stephen sekali lagi cocok dengan kenyataan yang ada di Indonesia. Perempuan bercadar yang tertutup mukanya itu, ternyata bisa menggunakan foto diri yang terbatas untuk menginspirasi sesama muslimah agar mengubah cara berbusana mereka. Kesan positif dan cerdas inilah yang ingin ditampilkan oleh pengguna media sosial meski ia tak bisa dikenali wajahnya. Meski ia tak dikenali, eksistensinya ada di media sosial. Jika demikian, apakah bisa dikatakan ada kecenderungan individual untuk eksis secara sosial?
Indonesia teraktif
Dari statistik sebuah situs pemasaran daring disebutkan orang Indonesia bukan cuma menggunakan media sosial terbanyak tetapi juga teraktif. Rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam lebih untuk media sosial. Media sosial yang paling banyak digunakan adalah YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram dan Line. Tahun 2018 tercatat pengguna Facebook ada lebih dari 130 juta dengan komposisi usia terbanyak 30 hingga 35 tahun.
Jutaan orang Indonesia menggunakan Facebook, menurut data Oktober 2019 sudah 56% penetrasi media sosial dari total seluruh penduduk Indonesia. Sesungguhnya sangat disayangkan jika jutaan pengguna media sosial di Indonesia hanya untuk eksistensi diri saja.
Alih-alih untuk pajang foto liburan, makanan, pakaian dan gaya hidup, media sosial bisa digunakan sebagai alat literasi. Saya bisa ambil contoh konkret, dakwah para perempuan bercadar itu. Media sosial menjadi medan pertarungan ide apa saja dan oleh siapa saja. Semua pengguna media sosial mempunyai akses yang sama, memiliki kesempatan yang sama untuk menggelontorkan gagasan-gagasan mereka masing-masing.
Namun perjuangan ide dan gagasan melalui media sosial butuh napas panjang dan konsisten. Kalau cuma sekadar eksistensi diri di media sosial saja, itu lebih mudah, yang sulit adalah eksistensi gagasan di media sosial yang dapat berdampak dan bermanfaat bagi publik. Bagaimana caranya eksis gagasan? Ambil contoh misalnya, Anda ingin literasi soal keberagaman maka Anda harus fokus pada topik ini, konsisten membagikan soal ini dan tidak ngos-ngosan, sebentar ada, sebentar hilang.
Eksistensi gagasan tidak semudah posting foto liburan di luar negeri. Tetapi kepuasannya jika cause (perkara) yang Anda perjuangkan itu berhasil, Anda berasa di puncak Menara Eiffel di Paris, meski belum pernah ke Paris. Cukup banyak pengguna media sosial di Facebook dan Instagram yang memiliki kesadaran edukatif atau literasi suatu ‘cause’ (perkara). Bergabunglah bersama mereka yang seide, sevisi dan sejalan. Gunakan waktu bermedia sosial dengan efektif untuk hal-hal baik dan positif bukan demi citra positif semata. Lakukan semua hal-hal baik itu karena Anda benar-benar peduli bukan karena sekadar eksis, ikut arus dan ikut seleb medsos belaka. Media sosial bukan ajang eksis diri eksis gagasan. Bagikan pikiran Anda bukan apa yang akan Anda santap.