JariBijak.com – Saat peluncuran Rencana Aksi Nasional Peningkatan Kesejahteraan Anak Usia Sekolah dan Remaja (RAN PIJAR), Menko PMK Muhadjir Effendy mengingatkan kembali data yang pernah dirilis UNICEF pada 2020.
Disampaikannya bahwa sepanjang tahun tersebut hampir separuh anak Indonesia menjadi korban perundungan di dunia maya atau cyber bullying. Tepatnya sebesar 45 persen.
UNICEF telah merinci berbagai contoh dari cyber bullying yang sering mendera anak-anak. Baik yang berdampak memalukan, menyakitkan psikis, menjengkelkan perasaan, ataupun mengancam jiwa.
Intinya tetap sama dengan perundungan, hanya medianya adalah media digital, baik berwujud teks, foto, atau video.
Hanya saja, meskipun konteksnya adalah sama-sama melakukan aksi perundungan — sebagaimana yang dilakukan secara langsung — namun aksi cyber bullying bisa menyebabkan dampak berkepanjangan. Walaupun kasusnya sudah close atau sudah dilakukan deklarasi damai antara pelaku dengan korban.
Mengapa demikian? Penyebabnya tidak lain karena aksinya dilakukan melalui dunia digital. Akibatnya secara otomatis akan meninggalkan jejak-jejak digital pula. Jejak yang sulit dihilangkan. Bahkan akan terpajang abadi.
Parahnya lagi, jejak-jejak tersebut bisa menyebar dan bisa disaksikan oleh banyak orang. Kemudian, jejak itu menyebabkan perundungan menyebar kembali.
Padahal anak-anak tersebut mempunyai hak untuk hidup dengan damai dan aman. Bukan hanya di dunia nyata, tetapi juga saat mereka melakukan interaksi digital yang di antaranya melalui berbagai kanal media sosial.
Jika berkaca dari data yang pernah disajikan BPS, jumlah anak yang mengakses internet memang semakin meningkat. Usia 5- 12 tahun saja sudah sebanyak 13,32 persen, 13 -15 tahun sebanyak 7,23 persen, dan 16 -18 tahun sebanyak 8,12 persen.
Saat ini, akses internet tidak lagi menjadi sesuatu yang dianggap ‘luar biasa’. Masyarakat kita sudah hampir terbiasa dengan interaksi yang berlangsung secara digital.
Kondisi ini semakin terkonfirmasi dengan Statistik Telekomunikasi Indonesia 2021 yang di antaranya menemukan fakta 90,54 persen rumah tangga di Indonesia telah memiliki minimal satu nomor telepon seluler. Terjadi peningkatan yang signifikan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Misal pada 2018 yang telah mencapai 88,46 persen.
Memang, melarang generasi ‘digital native’ itu untuk keluar dari lingkungannya bukanlah pilihan tepat. Ditambah dengan kondisi yang saat ini telah menjadikan fasilitas internet sebagai kebutuhan primer.
Di samping sebagai media komunikasi yang bisa dilakukan secara tepat dan hemat waktu, koneksi anak-anak di jagat maya juga tidak bisa dilepaskan dengan proses belajar mengajar mereka.
Apalagi dengan hadirnya pandemi Covid-19 yang dianggap menjadi salah satu pemicu terjadinya percepatan adaptasi pembelajaran jarak jauh. Seperti tidak ada alasan lagi untuk menahan perselencarannya di dunia maya.
Di tengah semangat hadirnya digitalisasi pembelajaran, anak-anak bisa mendapatkan ‘guru’ sekaligus penjelasan yang apik hanya cukup dengan sekali klik.
Bahkan, lebih dari itu, mereka juga bisa belajar dengan menjelajah ke berbagai daerah dan negara luar sekalipun. Semua bisa menjadi sumber ilmu sekaligus gurunya.
Nah, sebagai orangtua, tentunya kita berharap tingginya potensi mereka untuk lebih berprestasi di berbagai wilayah akademik akibat daya dorong teknologi tidak tersandung ‘hanya’ dengan sebuah serangan yang bernama cyber bullying.
Oleh karenanya, sejalan dengan upaya mendukung gerakan nasional RAN PIJAR yang dituangkan dalam Permenko PMK Nomor 1 Tahun 2022, sudah saatnya kita saling berkolaborasi untuk menguatkan hadirnya lingkungan yang kondusif, aman, dan nyaman bagi anak – walau di dunia maya sekalipun.
Untuk itu, perlu formulasi sehingga anak-anak bisa memperoleh hak-haknya. Minimal hak-hak dasarnya.
Ada dua hal sederhana yang perlu disadari secara bersama. Disadari untuk segera direalisasikan dalam kehidupan mereka.
Pertama, kesadaran dalam memandang bahwa setiap anak perlu mendapatkan perlindungan yang sama. Dengan pemahaman ini, kepedulian yang dibangun berbasiskan ‘anak kita,’ bukan hanya sekadar ‘anak saya’.
Dengan demikian, kesadaran untuk memberi rasa aman dan nyaman bisa dibangun secara kolektif. Tidak dibatasi oleh sekat-sekat keturunan atau kekeluargaan semata.
Meski kita sedang dipertontonkan fakta bahwa semangat kolaborasi sulit menyentuh para elite yang sedang bertarung meraih kekuasaan, tetapi semangat kolaboratif harus selalu dibangun oleh setiap keluarga di Indonesia. Kepentingannya jelas: anak kita harus menikmati hak-haknya.
Kedua, kesadaran untuk membangun kembali keteladanan. Bukankah anak-anak itu peniru ulung?
Usianya yang muda itu berbanding lurus dengan semangat keingintahuannya. Mereka akan menjadi peniru efektif. Meskipun kadar filternya masih sangat rendah.
Dengan daya tiru yang tinggi, mereka akan dengan cepat mengadopsi apa yang dilihat dan didengarkannya.
Pertanyaannya sederhana, dari manakah segala bentuk cyber bullying itu mereka pahami dan kemudian dilakukan?
Mengaku sajalah jika semua itu bersumber dari kita, yakni orang-orang dewasa yang terlalu egois dengan orientasi hidupnya.
Lupa bahwa anak-anak itu sedang menonton, memperhatikan, merekam, kemudian memainkan lakon persis seperti yang kita adegankan di berbagai platform digital. Termasuk melalui akun-akun media sosial itu.
Sekarang, saatnya untuk bergerak bersama. Bergegas untuk berbenah. Untuk memperkuat hak-hak anak di era yang katanya sedang berdigital ria ini.
Baca Juga: Instagram Hapus Tab Shopping Mulai Februari