JariBijak – Sebulan ini jagad Media Sosial Indonesia diviralkan oleh fenomena anak anak remaja usia belasan tahun dari daerah pinggiran Jakarta seperti Citayam, Bojonggede, Depok, dan sekitarnya yang nongkrong berjam jam di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD).
Mereka menggunakan pakaian aneka rupa kemudian melakukan aksi fashion show di zebra cross bak para model diatas catwalk, aksi mereka kemudian dicreate oleh para content creator menjadi street fashion ala Harajuku di Jepang dan diberi nama Citayam Fashion Week yang kemudian jadi viral. SCBD pun kemudian diplesetkan dan diubah jadi Sudirman Citayam Bojongede Depok. Fenomena ini ramai diperbincangkan di media sosial. Bahkan salah satu akun Twitter dari luar negeri @Tokyo Fashion bahkan membahas fenomena Citayam Fashion Week (CFW) ini.
Viralnya SCBD itu kemudian menarik perhatian para model beneran, selebriti hingga para pejabat seperti Gubernur DKI Anies Basweden dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk ikut kesana bikin content hingga ikut beraksi di catwalk jalanan itu.
Media sosial memang telah merubah banyak hal. Siapapun bisa menyebarkan informasi dan melihatnya. Termasuk menjadikan sesuatu yang sebelumnya tak dilirik tiba tiba menjadi perhatian besar ketika ada audience yang menyaksikan tayangan di media sosial naik pesat secara eksponensial atau yang kita kenal dengan istilah Viral.
CFW yang menggunakan ruang publik memang tak bisa dilarang selama tidak mengganggu ketertiban umum. Siapapun boleh menggunakannya termasuk anak anak remaja dari pinggiran Jakarta itu.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memang beberapa kali di media menyebut bahwa seluruh golongan masyarakat berhak menikmati demokratisasi di ruang publik, tidak hanya kalangan ekonomi menengah ke atas sebagaimana dominan di kawasan elit Sudirman.
Menurut Sosiolog aliran Frankfurt (neo marxian) Jurgen Habermas (1962), ruang publik yang otonom untuk civic-participation merupakan elemen fundamental demokrasi. Namun fakta sosialnya, penataan ruang suatu daerah selalu akan memunculkan kelompok sosial yang “berkuasa” , dominan, berpengaruh dan eksis, sebaliknya ada yang kemudian terpinggirkan. Pertentangan kelas nantinya akan terjadi dan itu terjadi di perkotaan di beragai belahan dunia.Ada yang eksis dan ada yang terpinggirkan.
Sebelum ada fenomena para remaja pinggiran yang nongkrong disana, Sudirman hingga ke Jakarta Selatan dikenal sebagai kawasan elite dan strategis. Ada pertokoan, perkantoran ditambah dengan perumahan mewah, townhouse di sekitarnya. Belum lagi Dukuh Atas memang dikembangkan sebagai Transit Oriented Development (TOD), atau sistem transportasi terintegrasi pertama Jakarta yang mempertemukan berbagai transportasi publik seperti MRT Jakarta, kereta KRL Commuterline, TransJakarta, kereta bandara, dan LRT Jabodebek.
Mereka yang lalu lalang di jalur itu adalah mereka yang terlihat seperti layaknya kelas menengah ke atas. Menggunakan pakaian rapi, tas dan sepatu bermerk. Kawasan Sudirman pun seolah-olah jadi kawasan elit yang didominasi kelas menengah ke atas.
Maka ketika akhir-akhir ini muncul banyak anak anak remaja dari pinggiran Jakarta berpenampilan kontras dan terlihat berlebihan di jalur itu sontak menarik perhatian. Mereka nongkrong berjam-jam dengan gaya mereka, layaknya model yan beraksi di atas catwalk. Aksi mereka menarik perhatian para content creator yang kemudian menjadikan mereka sebagai bahan konten. CFW kemudian viral dengan artis para remaja yang selama ini tinggal di daerah pinggiran. Ada yang namanya bonge, jeje, kurma, dan lain lain.
Saat ditanya apa motivasi mereka di lokasi itu hingga berjam- jam bahkan sampai tidur di sana, mereka menjawab enteng sambil cengengesan untuk nongkrong , cari teman, jajan, dengan modal antara Rp 15 ribu sampai Rp 50 ribu rupiah untuk eksis di sana sekitar 8 sampai dengan 10 jam. Bahkan tak jarang tidur di sana karena ketinggalan kereta.
Kini ketika CFW viral, semua ingin ke sana dari mulai content creator, media mainstream, selebritis, model beneran, sampai pejabat publik. Bukan hanya melihat aksi para remaja pinggiran tersebut, mereka bahkan ikut tampil di street catwalk itu. Ada juga yang pansos (panjat sosial), istilah anak muda sekarang, untuk numpang tenar dengan bikin konten bersama Bonge dan Jeje.
Ketika CFW sudah jadi crowd (kerumunan) besar dengan market yang menggiurkan, bukan tidak mungkin “panggung” catwalk para remaja pinggiran itu akan diambil alih oleh para model profesional yang dibawa para event organizer berkapital besar untuk mengeruk peluang profit atau bahkan politisi yang membutuhkan suara menjelang pemilu 2024. Saat itulah Demokratisasi ruang publik seperti yang disampaikan Habermas dipertaruhkan. Ketika ada kelompok sosial tertentu tersisih di sebuah kawasan, maka mereka akan mencari ruang baru untuk eksistensi, seperti SCW bagi anak-anak Citayam, Bojong Gede, Depok dan sebagainya sebelum viral seperti sekarang ini.
Jadi Warning
Di satu sisi, para remaja dari pinggiran itu berhasil menciptakan ruang eksistensi baru bernama CFW yang kemudian jadi viral dan menarik perhatian netizen. Di sisi lain dampak sosial yang lain juga perlu mendapat perhatian.
Dampak positifnya tentu ada, selain demokratisasi ruang publik, dari sisi ekonomi juga memberikan manfaat bagi banyak orang. Di antaranya para pedagang kaki lima di sekitar tempat itu pendapatannya naik berlipat. Para remaja yang tadinya bukan-siapa juga ketiban rejeki. Ada yang mendadak jadi artis di media sosial, dapat order bikin content bareng artis terkenal, sampai dapat hadiah ratusan juta dari selebritis terkenal. Para content-creator jelas yang tak luput meneguk keuntungan dari banjir viewer dan adsense gegara tayangan CFW.
Namun dampak negatifnya bukan berarti tidak ada. Keluhan dari petugas kebersihan soal bertambahnya sampah di sekitar lokasi, kekhawatiran hubungan bebas dari para remaja karena berjam-jam mereka di jalan bahkan sampai tidur bersama di jalan karena ketinggalan kereta.
Terlepas dari hal positif dan negatif, fenomena CFW secara sosiologis menjadi otokritik bagi lembaga sosial dari mulai tingkat keluarga, desa hingga lembaga pendidikan. Upaya para remaja mencari ruang eksistensi di satu sisi memang patut diapresiasi karena apa yang dilakukan sementara ini tidak mengganggu ketertiban sosial.
Namun di sisi lain fenomena itu harusnya jadi warning bagi keluarga dan lembaga pendidikan. Sebab seharusnya dari keluarga dan lembaga pendidikan itulah para remaja mendapatkan ruang berekspresi yang lebih beragam dan mempunyai value.
Tidak menutup kemungkinan di tempat lain akan muncul fenomena serupa melihat “kesuksesan” CFW dalam mendulang publisitas. Seperti diinformasikan iNews, di Semarang sudah digelar ajang serupa bertajuk Simpang Lima Fashion Week, (iNews,27/7/2022).
Jika nongkrong berjam jam untuk beradu fashion sampai ketiduran di jalan untuk mendapatkan eksistensi dan publisitas jadi role model para remaja, tidak kah ini mengkhawatirkan?. Padahal di usia remaja mereka harusnya punya banyak ruang belajar dan ekspresi dalam pencarian jati diri, dari mulai olahraga, sains, leadership, belajar berkegiatan sosial, belajar agama, dan banyak lagi.
Disinilah Kurikulum Merdeka Belajar akan diuji kesaktiannya. Bagaimana kurikulum itu tidak hanya bisa instrumen pembelajaran formal namun juga ruang belajar yang menggembirakan dalam hidup yang sebenarnya termasuk memfasilitasi mencari eksistensi dan jati diri remaja.
Baca Juga: Internet Bukan Terapis, Perilaku ‘Oversharing’ Berdampak Buruk