JariBijak.com – Aktivitas jual beli menggunakan media sosial kian marak di Tanah Air. Perdagangan memanfaatkan platform media sosial ini (social commerce) perlahan-lahan menjelma menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk berbelanja.
Salah satu social commerce yang cukup populer di Tanah Air adalah TikTok Shop. Media sosial asal Tiongkok ini mampu menciptakan aktivitas jual beli dimana pengguna dapat langsung bertransaksi di dalam aplikasi.
Prani Sastiono, Wakil Kepala Kajian Ekonomi Digital dan Ekonomi Tingkah Laku LPEM FEB UI tidak menampik praktik jual-beli barang yang dilakukan dalam platform media sosial atau social commerce cukup besar di Indonesia.
Namun, dari sisi ekosistem digital, value terbesar datang dari e-commerce, bukan dari social commerce.
“Karena memang kalau kita lihat di sini e-commerce sudah mature. Kalau social commerce mungkin ada masalah dari consumer protection, mungkin dari segi jenis usahanya,” ujarnya baru-baru ini.
Salah satu keunggulan e-commerce yakni aspek formal dan legalitas yang telah diakomodir melalui fitur Mall atau Official Store. Fitur atau layanan ini memungkinkan pengguna dapat berbelanja di e-commerce dengan jaminan rasa aman dan value yang baik.
Dengan kata lain, jika nilai suatu produk cukup tinggi, sementara pembeli tidak merasa cukup aman dengan belanja di social commerce, mereka akan memilih e-commerce. Alhasil, tercipta kompetisi untuk segmen-segmen produk tertentu.
“Ada juga soal usia, mereka yang menggunakan Tiktok itu yang lebih muda dengan karakteristik pembelian produk yang segmented nilai produk juga tidak sebesar melalui e-commerce,” tambahnya.
Prani berpendapat dalam persaingan dengan social commerce, e-commerce harus meningkatkan keunggulannya, seperti memberikan kenyamanan bagi konsumen.
Rudiantara, Ketua Dewan Pembina idEA berpendapat, Tiktok menjadi atraktif lantaran banyak anak muda yang menggunakannya. Anak muda ini juga merupakan pengguna aktif e-commerce.
Senada dengan Prani, Rudiantara mengatakan social commerce lebih tersegmentasi dari sisi pasar maupun jenis produk.
“Ini seperti tahun 2016, di mana ada orang beli barang pakai FB [Facebook], jualan lewat FB, tidak mengganggu e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, jadi co-exists. Kalau saya lihatnya demikian fenomena Tiktok,” tambahnya.
Di sisi lain, platform e-commerce yang tidak terlalu besar justru akan berkolaborasi dengan media sosial dan akan menggunakan aplikasi tersebut sebagai kanal distribusinya.
Jika platform seperti Tiktok Shop ingin mencakup semua segmen, TikTok harus memiliki ekosistem seperti e-commerce di Indonesia, seperti logistik, warehouse. Sementara itu bukan termasuk bisnis utama mereka.
“Tergantung pasar, tapi setidaknya harus punya ekosistem di Indonesia, dan TikTok kan bukan perusahaan itu mereka basisnya media sosial bukan perusahaan dagang. Mungkin akan terjadi kolaborasi yang menguntungkan bagi platform e-commerce yang tidak besar yang tidak punya ekosistem.” paparnya.
Baca Juga: Pengaruh Media Sosial terhadap Pola Pikir Manusia