Baru-baru ini seorang whistleblower atau pelapor dari dalam bernama Frances Haugen menuduh bahwa Facebook tidak transparan dalam penggunaan perangkat lunak algoritmanya. Menurut Haugen, Facebook memanfaatkan algoritmanya semata-mata untuk menarik sebanyak mungkin peminat ke situsnya serta menaikkan pendapatan bisnis dari sumber periklanan.
Maria Alessandra Golino dari Universiteit Maastricht di Belanda mengatakan, algoritma di platform media sosial merupakan cara teknis untuk memilah-milah unggahan berdasarkan beberapa kriteria, sehingga pengguna akan disuguhi posting-posting yang membuat mereka ingin terus mengikuti muatan spesifik seperti itu.
Dampak dari algoritma ini bisa positif dan negatif. Acapkali algoritma dirancang dengan sasaran meningkatkan kesadaran atau minat pada isu tertentu, dan pengguna tiba-tiba menyaksikan banyak suguhan posting terkait nutrisi, diet, atau film asing, bahkan politik.
Dampak negatif algoritma adalah mampu mempengaruhi opini dan minat pengguna media sosial karena lewat machine learning atau mesin pembelajaran, mereka hanya berhadapan dengan unggahan yang sesuai dengan like atau rasa suka pengguna, dan memperkuat kecenderungan sebuah opini tanpa dibarengi dengan informasi yang berimbang.
Merlyna Lim adalah profesor di Carleton University, serta Ketua Penelitian Kanada dari Digital Media and Global Network Society di Ottawa. Ia menggaris-bawahi bahwa algoritma itu sekadar mesin pembelajaran dan pengurutan, dan algoritma belajar dari manusia-manusia pengguna media sosial itu sendiri.
“Hanya saja algoritma ini memang memperkuat hal-hal yang lebih ekstrem, yang paling gitu kan – superlative, kemunculannya berdasarkan sentiment kan, yang most liked (paling disukai), most loved (paling dicintai), yang semakin di-search (dicari), kalo semakin banyak manusia menggunakan search engine (mesin pencari), yang mengarah ke sesuatu arah, X misalnya, akhirnya si mesinnya mengganggap itu hal yang paling penting,” paparnya.
Akibatnya, hal yang paling keras suaranya kemudian yang muncul dan teramplifikasi, dan itu belum tentu merupakan
pendapat mayoritas. Misalnya pendapat paling rasis, paling kacau, paling kanan atau paling kiri.
Irene Poetranto adalah peneliti senior di Citizen Lab di Munk School of Global Affairs and Public Policy, University of Toronto, Kanada. Kepada VOA ia mengingatkan bahwa Facebook adalah forum media sosial yang sarat dengan keluaran screening algoritma dan sangat populer di Indonesia.
“Facebook itu populer di Amerika tentunya, tetapi juga di Indonesia ya, malah kalau mengenai pertumbuhan usernya (penggunanya) Facebook ya, pertumbuhan itu paling cepat terjadi di negara-negara berkembang seperti di Indonesia ya kan. Kalau kita lihat di North America itu orang cenderung berpikir, ah Facebook is for my parents (untuk ortu saya) gitu kan, itu untuk generasi tua kan katanya, tapi kalo di Indonesia Facebook itu populer dan Facebook itu yang punya Instagram juga,” katanya.
Di tengah ingar-bingar opini ekstrem ini, suara yang moderat, di tengah, atau yang mungkin lebih berimbang dan mewakili pendapat mayoritas diam saja.
“Ada yang namanya theory of spiral of silence (spiral kebisuan), jadi kalau misalnya setiap individu di tengah ini menganggap kalau saya ngomong nanti malah di-bully atau saya ngomong capek-capek nggak ada gunanya, semua merasa mereka jadi terintimidasi untuk bicara, akhirnya jadi spiral of silence,” kata Merlyna Lim.
Situasi ini berbahaya karena yang bergaung terus adalah suara-suara yang radikal.
Namun Merlyna Lim juga melihat secercah harapan. Pandemi dalam dua tahun terakhir adalah momen arus balik muncul.
“Yang diam itu justru muncul, muncul karena rasa solidaritas, karena rasa kemanusiaan muncul, jadi the majority muncul, karena yang di tengah muncul tanpa dasar ideologis ya, betul-betul karena empati ingin menolong sesama, justru kalau di negara-negara saya melihat, India, Indonesia misalnya, Brazil, Italia karena pemerintahnya tidak kuat, mereka muncul dalam bentuk jaringan relawan dan sebagainya, itu hebat sekali,” katanya.
Namun Poetranto mengingatkan, pada masa datang, terutama menjelang Pemilu 2024 di Indonesia, muatan-muatan ekstrem dan radikal akan muncul secara gencar di media sosial, dan menyudutkan kelompok tertentu, misalnya minoritas atau perempuan.