JariBijak.com – Seperti diketahui, media sosial memang menjadi sarana bagi setiap orang untuk membagikan berbagai kegiatan hingga hal-hal menarik. Mulai dari membagikan foto hasil masakan, kegiatan liburan, atau sekedar rutinitas harian di kantor yang setiap hari dijalani. Setiap pengguna, tentu dapat mengunggah apapun yang ingin mereka bagikan di media sosial.
Namun, nampaknya budaya di media sosial semakin hari menunjukkan perubahan yang memprihatinkan. Salah satunya budaya flexing yang kini kerap dilakukan oleh sebagian pengguna media sosial. Di mana sebagian orang dengan sengaja memamerkan harta dan kemewahan yang dimiliki untuk mendapatkan nilai dan pengakuan sesuai dengan egonya.
Tidak selalu berupa uang, flexing biasanya memamerkan barang-barang mewah seperti pakaian, sepatu, mobil, tas, dan berbagai koleksi mahal yang dimiliki seseorang. Semakin banyak orang yang mengikuti tren ini, maka ini bisa berpotensi menggeser standar nilai yang ada masyarakat.
Bukan hanya itu, berbagai dampak buruk juga dapat terjadi akibat tren flexing yang marak di media sosial. Dengan begitu, penting bagi setiap pengguna media sosial untuk bijak dalam melihat apa pun di dunia maya. Dirangkum dari beberapa sumber, berikut kami merangkum penjelasan flexing dan dampak buruknya, bisa Anda simak.
Mengenal Flexing
Seperti disebutkan, flexing adalah istilah yang merujuk pada perilaku seseorang memamerkan harta benda dan kemewahan di media sosial. Dalam ilmu ekonomi, flexing lebih disebut sebagai konsumsi mencolok, yaitu seseorang membelanjakan uang untuk barang dan jasa mewah yang mampu menunjukkan status dan kekuatan ekonominya.
Ternyata, ini bukan istilah baru. Flexing diketahui sudah dikenal sejak tahun 1899, yang dikemukakan oleh Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions. Dalam buku ini, dijelaskan bahwa seiring waktu evolusi telah mengubah cara seseorang memandang orang lain. Di mana orang-orang yang diterima secara sosial adalah orang yang tampil menarik, kaya, dan populer.
Jika dilihat kondisi saat ini, tren flexing memang semakin diikuti banyak orang. Bukan hanya selebriti kaya, tetapi juga orang-orang yang terkenal di media sosial. Bahkan, mungkin sebagian orang dengan susah payah membeli barang mewah hanya ingin terlihat pantas dan diterima di lingkungannya.
Tujuan Flexing
Setelah memahami pengertian umum dari flexing, berikutnya penting untuk diketahui sebenarnya apa tujuan dari perilaku ini. Berdasarkan penelitian, orang-orang memang cenderung hanya ingin membagikan atau menunjukkan bagian baik dari hidup mereka. Hal ini dilakukan tidak lain untuk membangun citra diri di media sosial.
Dengan kata lain, setiap unggahan di media sosial telah disaring sesuai dengan ego atau keinginan masing-masing orang. Bagaimana setiap orang ingin dinilai dan dipandang dengan cara tertentu. Sehingga masuk akal, jika setiap orang hanya ingin membagikan hal-hal yang menurutnya baik dan menyenangkan.
Tujuan flexing lainnya juga kerap kali dikaitkan dengan upaya menarik layan jenis. Dikatakan, konsumerisme dapat digunakan sebagai updaya untuk menarik jodoh. Di mana budaya pop, mode, dan tren baru dapat membuat Anda tampil lebih baik daripada orang lain sehingga dapat menarik perhatian lawan jenis.
Inilah sebab mengapa status masih dianggap menjadi daya tarik di masyarakat. Orang-orang yang berpakaian merek mahal, mobil mewah, sering pergi berlibur ke luar negeri, dipandang sebagai kelompok orang yang mampu dan pantas diterima. Jika tren ini terus berkembang, dikhawatirkan dapat mengubah berbagai standar nilai di masyarakat yang mengarah pada hal negatif.
Dampak Flexing
Terakhir akan dijelaskan mengenai dampak flexing. Seperti disebutkan sebelumnya, tren flexing atau perilaku memamerkan kekayaan di media sosial berpotensi mengubah standar nilai di masyarakat. Di mana hanya orang-orang yang berbaju mahal, bermobil mewah, dan simbol kekayaan lainnya, yang diterima di media sosial.
Sebagian orang yang kurang mampu, namun bergaul dengan lingkungan yang seperti ini, bisa jadi muncul keinginan untuk melakukan hal yang sama. Seolah setiap orang berlomba untuk mendapat pengakuan dari orang lain, khususnya di media sosial.
Secara tidak langsung, tren ini semakin meningkatkan perilaku konsumerisme di masyarakat. Terlebih dengan teknologi, berbagai platform belanja online menawarkan kemudahan kredit hingga pinjaman uang. Jelas, jika tidak bijak melihat tren ini siapa saja dapat terjerumus untuk terus konsumtif hingga memiliki beban utang.
Bukan hanya itu, tren flexing juga dinilai berpotensi merusak kesehatan mental seseorang. Di mana orang yang tidak mampu mendapatkan barang mewah atau hal-hal mewah lainnya di media sosial, merasa kepercayaan diri menurun dan tidak pantas. Bisa jadi, hal ini dapat meningkatkan stres hingga risiko depresi di masyarakat.
Baca Juga: 6 Dampak Negatif Media Sosial di Kehidupan Sehari-hari