JariBijak – Perkembangan teknologi informasi telah melahirkan media baru (new media). Salah satu bentuk media baru itu adalah media sosial (social media). Media sosial adalah jejaring aplikasi yang membuka ruang interaksi seluas-luasnya yang di dalamnya semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menyebarkan informasi apa saja yang diketahui dan dimilikinya.
Namun, beberapa waktu belakangan ini, media sosial melahirkan tantangan baru. Kemudahannya untuk bertukar informasi justru membuat beberapa pihak kemudian menyebarkan informasi-informasi yang tidak jelas kebenarannya. Celakanya lagi, kebanyakan orang memilih mempercayainya daripada meragukannya.
Sekretaris Eksekutif bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Jimmy Sormin, mengungkapkan kebiasaan warganet yang sering kali mendahulukan kecepatan menanggapi dan merespons suatu narasi dengan mengesampingkan fakta benar dan salah.
“Padahal di tengah dunia digital, kita menggunakan perangkat-perangkat cerdas atau smartphone, smart gadget seperti itu, tentunya pemakainya harus smart dan cerdas,” Jimmy, Kamis (13/10/2022).
Ia melanjutkan, penting bagi masyarakat untuk memahami dan menyadari apakah sebuah informasi tersebut layak untuk dibagikan atau justru harus berhenti untuk dirinya sendiri. Masyarakat menurut dia harus cerdas untuk kemudian melakukan klarifikasi atas informasi yang diterima.
“Klarifikasi atau mencari informasi yang sejelas-jelasnya ini tentunya sesuatu yang menjadi kewajiban kita untuk kemudian mengetahui sesuatu secara valid, harus mengetahui sesuatu itu dengan terang, apakah benar itu apa adanya atau ada apanya. Tentunya itu yang harus kita ketahui dahulu,” jelasnya.
Jimmy menekankan pentingnya sikap sabar dan cermat dalam penggunaan media sosial. Masyarakat tidak boleh ketika ada kejadian viral, tangan serasa gatal untuk sekedar menyumbangkan komentar. Di sisi lain, mereka tidak peduli fakta dan fiksi atau benar dan salah.
“Sebelum mengganggu dan merugikan diri sendiri atau orang lain, kita perlu mengetahui lebih dahulu kebenaran sebuah berita atau kejadian. Ini membutuhkan kesabaran dan kecermatan,” kata Jimmy.
Ia menilai perlu membangun budaya masyarakat yang cerdas dan sabar dengan mendahulukan klarifikasi atas informasi yang diterima. Caranya dengan menghidupkan budaya literasi digital di kalangan masyarakat.
“Rekam jejak sulit dihapus kalau sudah terlempar di digital. Oleh karenanya kita perlu membangun budaya digital yang baik di kalangan pemuda atau kalangan pengguna gadget,” ujar Jimmy.
Menurutnya, para pengguna gadget atau media sosial perlu didorong ketika menyampaikan narasi-narasi kepada publik adalah narasi yang sifatnya bukan destruktif. Tapi narsi konstruktif yang bersifat mendidik, membangun dan memotivasi.
“Jadi optimisme yang dibangun, bukan pesimisme, bukan yang sifatnya destruktif atau memecah belah dan lain sebagainya. Optimisme itu harus dibangun setelah mereka cerdas bermedia sosial dan tahu juga misi apa yang harus dibawa dalam media sosial itu,” jelasnya.
Selain itu, Jimmy mendorong peran para tokoh baik agama maupun masyarakat untuk turut serta menularkan dan mengarahkan umatnya dengan budaya optimisme, cerdas dalam bermedia sosial dan mencintai kehidupan bersama.
“Tokoh agama perlu menyampaikan bahwa kita hidup sebagai manusia ini adalah hidup yang memiliki kemanfaatan. Kita hidup untuk merayakan kehidupan untuk menghidupi kedamaian dan keadilan. Oleh karenanya klarifikasi dan pengetahuan tentang dunia digital harus dimiliki oleh warga atau umat beragama,” kata Jimmy Sormin.
Baca Juga: 32 Kata-Kata Caption Bijak untuk Media Sosial, Sarat Pesan Moral