Selama pandemi Covid-19, banyak aktivitas dikerjakan di dunia maya. Internet menjadi tumpuan, dan menopang sebagian manusia untuk bekerja, belajar, berbelanja, berkomunikasi dan menggali ilmu pengetahuan. Proses digitalisasi semakin cepat. Bahkan anak-anak sudah akrab dengan gawai, dan aktif berselancar di dunia maya.
Berdasar riset datareportal menunjukkan pengguna media sosial aktif di Indonesia pada Januari 2022 sebanyak 191,4 juta. Naik 12,6 persen atau 21 juta dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pengguna media sosial setara dengan 68,9 persen total populasi penduduk Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia hingga Januari 2022 sebanyak 277,7 juta.
Media massa memiliki kemampuan yang besar untuk menyebarkan pesan kepada khalayak, yang berada di lokasi terpisah, secara serentak dengan kecepatan tinggi. Sehingga media massa dijuluki sebagai “pengganda ajaib” (Rogers, 1985:184).
Nah, tak heran jika di Indonesia segala informasi yang terbaru cepat sekali tersebar. Contohnya pertarungan tinju antara Ahmad Jalaludin Rumi atau yang kerap disapa El melawan youtuber Winson Reynaldi. Sontak warganet banyak yang berkomentar tentang pertarungan yang akan berlangsung 12 Juni 2022 mendatang di Holywings Gatsu Club V,Jakarta.
Mulai komentar positif hingga komentar yang negatif. Komentar menyeruak diantara lini masa media sosial. Bahkan ada selebritas yang berkomentar keras atau tidak pantas. Pola ini dilakukan untuk menghaasilkan cuan, demi endorsement dan terkenal. Jika beruntung bisa berlanjut tampil di televisi. Mereka kadang rela menjatuhkan harga dirinya demi viral di media sosial.
Memang Pasal 28E ayat 3 Undang Undang Dasar 1945 berbunyi, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat, Namun, sebagai warga Negara Indonesia kebebasan berpendapat juga mempertimbangkan sesama warga negara. Tapi tak semua warganet berkomentar serampangan, dan tidak memikirkan dampaknya.
Jika dilihat perkembangannya, media sosial awalnya digunakan sebagai sarana komunikasi sesama teman, sahabat, ataupun orang lain. Tapi kemudian berkembang menjadi sarana berkomunikasi, berbisnis, marketing, personal branding, bahkan pencitraan.
Dalam Filsafat Moral Terkait “Tindakan Manusia” bahwa pada dasarnya kita berhak bertindak secara normalnya. Bahwasanya manusia itu “harus” bertindak merupakan ciri khasnya setiap makhluk hidup. Tapi tindakan manusia yang diartikan dalam hal ini juga harus mengedepankan dan juga memenuhi persyaratan terkait tentang moral dan etis tentunya.
Tapi jika kita melihat media sosial, seolah memberi kesempatan warganet untuk berekspresi sekaligus meraup pundi-pundi. Adagium klasik dunia jurnalistik “Bad News Is Good News” mungkin menjadi salah satu patokan media, memberi panggung orang yang kontroversial.
Apalagi, masyarkat lebih tertarik dengan kabar kontroversi yang dibuat public figure dibanding dengan informasi yang edukatif. Maka, media akan terus memberi panggung pada mereka, karena media mengikuti selera para penikmat media. Cerdaslah memilih media massa yang menyuarakan suara tak bisa bersuara atau voice the voiceless.
Tapi akan lebih baik jika kita sebagai warganet menunjung etika dalam berkomunikasi dalam media sosial. Tak menulis komentar yang mengandung kebohongan, kepalsuan, ketidakjujuran. Semua merupakan tindakan kejahatan.
Etika komunikasi yang baik itu adalah kita sebagai masyarakat lebih baik bersandar pada karakter daripada tingkah laku. Sehingga kita sebagai warganet di media sosial perlu mempertimbangkan secara mendalam sebelum berkomentar. Agar tidak terjadi prasangka buruk yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap orang lain.
Sebaiknya media tidak disalahgunakan seperti alat propaganda dan menyebarkan ujaran kebencian. Bijaklah menggunakan media sosial, dan cerdaslah memilih media massa karena keduanya merupakan senjata yang tajam.