Jakarta – Mantan narapidana teroris, Haris Amir Falah, mengungkap ada pergeseran pola rekrutmen calon teroris tak lagi lewat kajian tatap muka, melainkan melalui media sosial (medsos). Guna mencegah paham radikalisme dan terorisme, Kominfo memantau akun dan konten radikalisme di medsos.
“Kementerian Kominfo melakukan pengawasan ruang siber selama 24/7 dengan menggunakan mesin crawling berbasis AI yang memantau akun dan konten-konten yang terkait dengan kegiatan radikalisme terorisme,” kata Menkominfo Jhonny Plate saat dihubungi, Minggu (4/4/2021).
Ia mengungkap, Kemenkominfo juga berkoordinasi dengan kementerian/lembaga serta stakeholder terkait lainnya terkait penyebaran konten radikalisme dan terorisme di medsos. Kominfo juga berupaya menyampaikan konten positif untuk memberi literasi kepada masyarakat.
“Kami juga melakukan kegiatan literasi digital agar masyarakat dapat memfilter informasi yang diterima dengan baik, serta mendorong media sosial dipenuhi dengan konten-konten positif dan produktif,” ungkapnya.
Lebih lanjut Kominfo juga melakukan pemblokiran terhadap konten yang diduga mengandung radikalisme dan terorisme. Hingga 3 April, sudah ada 20 ribuan konten yang diblokir.
“Hingga 3 April 2021, Kementerian Kominfo telah melakukan pemblokiran konten radikalisme terorisme sejumlah 20.453 konten yang tersebar di situs internet, serta beragam platform media sosial,” ujar Jhonny.
Sebelumnya, mantan narapidana teroris, Haris Amir Falah, mengatakan ada pergeseran pola dalam aksi-aksi terorisme belakangan ini. Kalangan wanita dilibatkan karena dianggap lebih militan.
Haris menyebutkan, saat dia ditangkap pada 2010, wanita sama sekali tidak diikutsertakan dalam aksi-aksi teror. Namun, menurut dia, kekinian aksi terorisme justru cenderung dilakukan wanita.
“Sekarang itu trennya wanita. Bahkan dari beberapa yang saya temukan di lapangan itu justru wanita lebih militan daripada laki-laki,” ujar Haris dalam diskusi Polemik MNC Trijaya FM yang digelar secara daring, Sabtu (3/4).
Selain itu, kata Haris, para wanita yang terlibat jaringan terorisme tersebut mengajak suami-suaminya. Bukan lagi para suami yang mengajak istrinya seperti dahulu.
“Banyak yang suaminya itu ikut bukan karena suaminya yang ngajak istrinya, tapi justru istrinya yang mengajak suaminya,” ucapnya.
“Bahkan ada teman saya di daerah Jakarta Selatan itu dia ditinggal hijrah oleh istrinya karena dianggap dia kafir tidak mau ikut JAD itu. Jadi memang ini luar biasa, munculnya wanita,” Haris melanjutkan.
Selain tren keterlibatan wanita, ada satu pola lagi yang berubah terkait terorisme. Perekrutan calon-calon teroris saat ini tak lagi lewat kajian-kajian tatap muka, melainkan media sosial (medsos).
“Sekarang itu karena teknologi udah canggih, orang bisa direkrut tanpa ketemu muka. Mereka bisa aktif berdialog, kemudian dibina lewat medsos,” tutur Haris.
Dia menyebut medsos kerap dipakai jaringan terorisme dalam berkomunikasi secara intensif dengan orang yang hendak direkrut. Bahkan, menurut Haris, proses pembaiatan antara orang yang hendak bergabung dan pimpinan jaringan terorisme juga kini tak lagi dilakukan secara bertatap muka.
“Sistem baiat sekarang itu kan nggak harus ketemu. Bisa di kamar sendirian kemudian berbaiat, setelah berbaiat mereka sudah terikat dengan program itu,” jelas Haris.
(yld/imk)