Jakarta – Tawaran Presiden Jokowi agar masyarakat lebih giat mengkritik kinerja pemerintah memunculkan sedikit polemik soal apakah rakyat memang diberi kesempatan luas untuk mengkritik. Ada cukup banyak orang yang telah masuk penjara karena ocehannya di media sosial. Benarkah kita bisa mengkritik dengan aman? Lalu muncul pula keluhan lain, yaitu serangan para pendengung atau buzzer. Tokoh senior Kwik Kian Gie menyatakan ketidaknyamanan dia atas serangan para buzzer ketika ia menyampaikan kritik.
Sedemikian parahkah situasi kebebasan berpendapat di era Jokowi ini? Menurut pengalaman pribadi saya, tidak demikian. Betul ada banyak orang masuk penjara akibat kicauan di media sosial. Betul pula, mereka dijerat dengan pasal-pasal karet dengan tuduhan-tuduhan sumir. Tapi yang terpenting, sejauh pengamatan saya, tidak ada dari mereka yang melakukan kritik secara substansial. Contohnya, kasus Ahmad Dhani. Itu adalah kasus ujaran remeh, yang tidak bisa kita sebut sebagai kritik substansial. Para pengkritik substansial, dengan argumen yang baik, tidak menghadapi masalah hukum.
Ada kejadian menarik yang bisa melengkapi gambaran soal situasi kebebasan berpendapat di era Jokowi dan media sosial ini. Wartawan senior Farid Gaban mengkritik Menteri Koperasi Teten Masduki, yang meluncurkan program dengan bekerja sama dengan aplikasi Blibli. Dalam pandangan Farid, itu cara kerja yang korup, karena polanya adalah pemerintah menyuapi dunia bisnis.
Entah bagaimana cara berpikirnya, kritik Farid itu dianggap sebagai penghinaan kepada Presiden RI oleh politikus PSI Muannas Alaidid. Ia melaporkan Farid ke polisi. Farid menanggapi laporan itu secara santai. Teten Masduki menyesalkan laporan itu; ia menganggapnya berlebihan. Untungnya kepolisian tidak mengambil tindak lanjut terhadap laporan itu.
Hal-hal semacam itu yang mungkin jadi keluhan oleh orang-orang yang biasa berpikir dan mengeluarkan pendapat terhadap kinerja pemerintah. Yang dibutuhkan adalah tanggapan, terlepas dari setuju atau tidak, yang bermartabat, berbasis pada pemikiran secara intelek. Persetujuan maupun penolakan disampaikan dengan argumentasi. Bukan dengan laporan ke polisi.
Pihak kepolisian tentu saja punya standar dalam memilah mana laporan yang perlu ditindaklanjuti, mana yang diabaikan saja. Namun setidaknya pemberitaan soal adanya laporan saja pun sudah membuat suasana tidak nyaman. Apalagi kalau sampai terjadi pemanggilan untuk pemeriksaan. Itu tentu akan lebih merepotkan.
Dalam hal keluhan Kwik Kian Gie, ia berhadapan dengan warganet yang merespons kritiknya secara kasar, tidak argumentatif, sampai mengungkit-ungkit soal-soal pribadi. Lagi-lagi yang dihadapi bukan tanggapan yang bernas.
Siapa orang-orang yang melakukan tanggapan itu? Berbagai pihak memberi label “buzzer” kepada mereka. Label ini pun tidak disertai deskripsi yang memberikan gambaran yang jelas soal siapa mereka. Ada tuduhan bahwa pemerintah atau kekuatan politik koalisi pemerintah memakai jasa orang-orang yang punya pengikut besar di media sosial untuk menggiring opini publik melalui media massa. Atau mungkin juga ada yang menggerakkan sejumlah orang yang mengelola akun-akun fiktif untuk membuat keributan bertema tertentu di media sosial.
Benarkah tuduhan itu? Siapa saja para “buzzer” itu? Tidak pernah ada satu pihak pun yang bisa menyodorkan bukti sahih soal tuduhan itu. Yang bisa kita katakan adalah, itu mungkin saja ada. Tapi sebaliknya, mungkin saja tidak ada. Jadi, tidak ada kepastian apapun.
Satu hal yang perlu dicatat adalah, serangan yang sama sebenarnya juga dialami oleh para pendukung pemerintah. Dilaporkan ke polisi, diserang secara pribadi, bahkan ancaman fisik. Pelaku penyerangan tentu pihak yang berbeda dari yang menyerang para pengkritik pemerintah. Tapi karakternya sama, yaitu tidak menyampaikan argumentasi balasan secara bermartabat.
Yang bisa kita katakan soal ini adalah inilah dunia media sosial. Setiap orang bisa berbicara tanpa ada pihak mana pun yang melakukan moderasi. Orang bicara tanpa filter. Dalam level tertentu, yang menguasai pembentukan opini di media sosial adalah yang paling gencar mengirimkan pesan. Suasananya persis seperti kerumunan massa. Yang bisa berteriak kencang, memicu banyak orang untuk meneriakkan hal yang sama, akan jadi pemenang.
Pertanyaannya, siapakah mereka ini? Apakah mereka orang-orang yang digerakkan pemerintah atau kekuatan politik dengan bayaran? Atau sekadar kerumunan orang yang fanatik, sehingga mudah digerakkan untuk meneriakkan sesuatu? Saya cenderung melihatnya sebagai yang kedua.
Dunia media sosial pada dasarnya hanyalah cerminan suara manusia-manusia di ruang nyata. Media sosial hanyalah wadah saja. Di dunia nyata ada orang-orang yang mau berkumpul meneriakkan sesuatu yang mereka yakini. Cukup yakin saja, meski tak paham. Mereka berteriak mengikuti komando tertentu.
Dalam dunia nyata, para pemberi komando bisa berupa orang yang ditugaskan oleh kekuatan politik, baik dengan imbalan politik maupun uang. Tapi ada pula orang yang berinisiatif sendiri, dengan harapan mendapat imbalan kelak. Di dunia media sosial pun situasinya sama. Mungkin ada orang-orang yang diberi tugas untuk mengelola opini. Tapi ada pula orang-orang yang menempatkan dirinya sesuai dengan persepsi mereka terhadap harapan kelompok politik, dengan harapan mereka kelak akan mendapat imbalan.
Dalam masa kampanye pemilihan presiden ada beberapa orang yang mengaku mendapat bayaran. Apakah itu benar, kita tidak bisa melakukan konfirmasi. Demikian pula, apakah hal itu masih berlangsung sekarang pun, tidak pula bisa kita konfirmasi.
Persoalan pentingnya, apakah kita jadi sulit memberikan kritik? Bagi saya pribadi, tidak. Saya biasa menyampaikan kritik kepada berbagai pihak dalam pemerintahan, maupun kepada sesama anggota masyarakat. Poin terpentingnya, kritik disampaikan dengan cara bermartabat, berbasis pada data dan argumentasi yang sahih. Selama itu dijalankan, tidak perlu ada kekhawatiran soal akibat hukum dari kritik itu. Soal para warganet yang suka membuat keributan itu, sangat bijak bila kita abaikan saja.
(mmu/mmu)