TIMESINDONESIA, SEMARANG – Beberapa waktu yang lalu, terdengar kabar yang memprihatinkan, bahwa ada ratusan anak yang mengalami kecanduan gawai (gadget) dan terpaksa “direhabilitasi” di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Cisarua, KBB. Berdasarkan catatan dari RSJ Cisarua, pada bulan Januari hingga Februari 2021 saja, sudah terdapat 14 anak yang menjalani rawat jalan karena gangguan adiksi gawai. Jumlah itu tentu bukan angka yang sedikit.
Telah ada banyak studi dan riset yang menjelaskan berbagai dampak buru dari adiksi gawai. Salah satu yang banyak disinggung adalah FoMO (Fear of Missing Out) atau juga dapat disebut sebagai ketakutan akan kehilangan informasi. Sebenarnya, istilah FoMO sudah muncul berabad-abad yang lalu, tetapi media sosial dan gawai mengkatalisasi fenomena tersebut. FoMO menciptakan kecemasan, stres, dan emosi negatif.
Permasalahannya kemudian, anak-anak sekarang merupakan generasi Z dan Alfa yang lahir di dunia dengan perkembangan teknologi yang pesat dan membuat mereka akrab terhadap teknologi digital. Oleh sebab itu, keduanya sering kali disebut sebagai digital native. Terlebih lagi generasi Alfa, yang lahir setelah tahun 2010, umumnya mereka sudah mahir mengoperasikan gawai sejak usia yang masih sangat belia.
Lantas, bagaiamana upaya yang bisa kita lakukan untuk memisahkan anak-anak dari teknologi digital, sedangkan mereka sendiri adalah “digital native”? Persoalan semakin bertambah kompleks, ketika di masa Pandemi Covid-19 saat ini, anak-anak terpaksa harus mengikuti pembelajaran sekolah secara daring. Hal tersebut tentu membuat intensitas interaksi mereka dengan gawai menjadi jauh lebih tinggi.
Minimalisme Digital
Pertama-tama, kita perlu mendudukan permasalahan ini secara jernih, bahwa yang menjadi problem itu bukan penggunaan perangkat digital, tetapi penyalahgunaannya jika perangkat itu dioperasikan secara berlebihan. Jadi, yang penting untuk dipikirkan adalah bukan bagaimana memisahkan anak-anak digital native dengan gawai secara total, melainkan bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan gawai tersebut.
Salah satu yang dapat ditempuh adalah dengan mencoba menerapkan filosofi digital minimalism (minimalisme digital). Cal Newport, dalam bukunya yang berjudul “Digital Minimalism” (2019), mengartikan minimalisme digital sebagai suatu gaya hidup yang “mengefisienkan” penggunaan teknologi sesuai dengan kebutuhan. Jadi, kita wajib berhati-hati dalam memilah dan memilih aktivitas digital yang penting.
Seorang penganut minimalisme digital (digital minimalist), tidak akan gelisah apabila melewatkan hal-hal kecil di dunia maya. Mereka percaya, bahwa “kehidupan digital” itu harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Oleh karenanya, mereka sangat cermat dalam menentukan aktivitas digital yang akan dilakukan. Jelas, bahwa sekarang gawai telah inheren dengan kehidupan, tetapi kita juga perlu bijak menggunakannya.
Minimalisme digital pada anak banyak dipilih sebagai “pendekatan” untuk mencegah dan mengatasi kecanduan gawai, karena sifatnya yang lebih moderat daripada detoks digital. Minimalisme digital, tidak melepaskan anak-anak digital native dari teknologi seutuhnya, melainkan memberikan batasan. Sebab, teknologi digital juga berpotensi baik jika digunakan secara bijaksana dan tidak malampaui batas.
Kontrol dari Orang Tua
Berangkat dari pemahaman terkait minimalisme digital di atas, maka kita bisa mulai menetapkan kontrol bagi anak-anak dalam menggunakan perangkat digital. Sejak tahun 2019, WHO sebenarnya telah mengeluarkan pedoman tentang Screen Time untuk anak usia Balita. Bayi di bawah satu tahun, sama sekali tidak boleh terpapar layar gawai. Sementara anak berumur 2-5 tahun, hanya boleh melihat kurang dari satu jam.
Pedoman itu harus diterapkan sebagai langkah awal untuk meminimalisir kecanduan gawai sejak dini. Setelah anak-anak memasuki fase later childhood (6-12 tahun), mereka sudah dapat diedukasi untuk mengoperasikan perangkat digital secara bijak. Edukasi yang dimaksud adalah dengan minimalisme digital, yaitu mengisitarahatkan gawai/ aplikasi yang sebenarnya tidak menunjang (the digital declutter process).
Sebelum anak-anak memiliki kematangan pola pikir, kita memang perlu aktif dalam melakukan pengawasan. Proses anak mengistirahatkan perangkat digital yang tidak menunjang misalnya, juga perlu didukung oleh upaya dari orang tua untuk membantu mereka menjelajahi dan menemukan kegiatan yang memuaskan serta bermakna. Di sinilah letak peran krusial orang tua dalam keberhasilan minimalisme digital.
Selain melakukan proses edukasi dan kontrol, yang tidak kalah penting adalah para orang tua juga harus mampu memberikan keteladanan bagi anak-anak mereka dengan bijak menggunakan perangkat digital. Seperti diketahui, saat ini banyak orang tua yang lebih peduli terhadap gawainya. Bahkan dilansir Southern Phone, beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa generasi seniorlah yang mengalami adiksi gawai.
Pola Asuh Digital Anak
Minimalisme digital bukan hanya tentang tindakan pengetatan penggunaan gawai, melainkan lebih dari itu adalah “pola pikir”. Pola pikir ini harus ditanamkan pada diri orang tua dan anak-anak. Secara khusus bagi orang tua, minimalisme digital pada anak sejatinya juga menjadi bagian penting dari digital parenting. Digital parenting adalah model pengasuhan bagi anak-anak yang akrab dengan perangkat digital.
Secara garis besar, digital parenting diterapkan dengan memberi batasan yang jelas kepada anak, mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat menggunakan gawai, termasuk membatasi waktunya. Hal tersebut bisa diawali dengan diskusi, tidak hanya sebatas melarang. Korelasi digital parenting dan minimalisme digital terletak pada aspek efisiensi pemanfaatan gawai, bukan pelarangan secara ekstrim.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kecanduan gawai pada anak-anak bukanlah menjadi tanggung jawab mereka, tetapi merupakan tanggung jawab orang tua. Di sini, orang tua juga perlu melakukan introspeksi diri, apakah selama ini telah menerapkan pola asuh digital secara ideal? Dan dalam perspektif yang lebih luas, peran guru juga penting untuk membiasakan minimalisme digital pada anak-anak di sekolah.