Free Porn
xbporn

1xbet وان ایکس بت 1xbet وان ایکس بت 1xbet وان ایکس بت 1xbet وان ایکس بت 1xbet وان ایکس بت 1xbet وان ایکس بت 1xbet وان ایکس بت 1xbet وان ایکس بت 1xbet 1xbet سایت شرط بندی معتبر 1xbet وان ایکس بت فارسی وان ایکس بت بت فوروارد betforward سایت بت فوروارد سایت betforward 1xbet giriş

Jempol Digital, Otak Analog

Jakarta – Pekan lalu, pagi-pagi sekali beberapa orang menggedor-gedor pintu inbox saya. Tanpa peduli bahwa jam segitu adalah jadwal saya mulai merebahkan badan setelah semalaman nonton film tembak-tembakan, mereka mencecar sambil meminta semacam pertanggungjawaban atas sebuah dosa yang rasa-rasanya tidak saya lakukan.

“Tuh, lihat temanmu, Bro. Kelakuannya macam gitu.”

Ha? Yang mana? Saya bingung. Lalu semua pengirim pesan seperti bergerak dalam satu komando yang sama, yaitu menyodorkan tangkapan layar sebuah dialog di Facebook. Saya membacanya, dan memang orang yang disebut-sebut sebagai teman saya itu menuliskan komentar yang sangat tidak pantas menurut ukuran moralitas dan etika manusia waras.

Tentang ketidakpantasan itu tak perlu debat berpanjang-panjang. Sudah jelas tidak pantas. Yang perlu diperdebatkan adalah predikat “temannya Iqbal”. Saya segera menjawab, “Iya dia memang teman alias friend Facebook-ku. Tapi apa kalian kira otomatis dia berteman beneran sama aku?”

Sebenarnya saya kurang nyaman juga menjawab dengan cara begitu. Seolah-olah saya sebangsa pengecut yang tiba-tiba cuci tangan saat ketahuan dekat dengan seseorang yang kena kasus. Masalahnya, ya itu tadi, dia bukan teman saya “beneran”. Ketemu muka tidak pernah, rumahnya di mana juga tidak tahu, lingkaran pergaulan dia orang-orang seperti apa saya pun tak paham.

Lho, tapi aku lihat di profilnya dia orang Bantul, Bro! Tetanggamu, kan?”

Waduh. Langsung saya jelaskan, populasi penduduk Bantul itu hampir satu juta orang. Saya bahkan tidak yakin apakah saya mengenal satu persen di antaranya. Bahwa KTP kami sama-sama Bantul, mungkin iya. Tapi itu kan urusan Disdukcapil dan kantor kelurahan saja, to? Bakalan sedikit beda penjelasannya kalau saya ini Bupati Bantul. Tentu saya sebagai pemimpin yang jujur amanah dan siap berkorban demi rakyat akan merasa mengemban tanggung jawab untuk mengontrol akhlak seluruh rakyat saya (ini bukan kampanye, saya tidak berminat jadi bupati).

Ketika melontarkan jawaban-jawaban itu, diam-diam saya masih berpikir agak keras, bahkan kadangkala ragu juga dengan jawaban saya sendiri. Apakah benar hanya karena kita berteman di medsos dengan seseorang, lantas kita turut menanggung segenap amal perbuatan yang dilakukan “teman” kita itu?

Ya kalau teman medsos yang berlanjut ke kopdar, nongkrong, selfie-selfie bareng, dan foto selfie itu saya pajang berkali-kali, sepertinya lumayan wajar orang-orang menganggap kami berteman sungguhan. Sementara, yang namanya teman sungguhan sedikit-banyak punya beban moral untuk mengingatkan temannya yang kebablasan. Masalahnya, ini teman medsos. Dan teman medsos itu ternyata tak selalu merupakan teman sungguhan.

Di sisi lain, saya pun tidak bisa utuh-utuh menyalahkan orang-orang yang meminta klarifikasi saya terkait dosa “teman” saya. Sebab ketika akun si pecundang itu dibuka oleh banyak orang, nama dan foto saya yang beraura terang benderang langsung nongol sebagai teman dia. Otomatis, sayalah yang tampil mencolok di hadapan para stalker itu.

Sampai kemudian ketemulah di mana titik kunci miskomunikasinya. Ini tentang bagaimana kita menghadapi suatu ruang dengan suatu mindset. Pendek kata, kita ini nyebur ke sebuah dunia yang relatif baru, yang berbeda dengan dunia sebelumnya. Agar bisa lebih kafah dengan dunia baru ini, semestinya cara pandang dan cara berpikir kita juga kita sesuaikan.

Di dunia lama, kita punya teman-teman yang riil. Tapi kadangkala kita juga nongkrong di warung kopi atau angkringan, ngobrol dengan sembarang orang yang tidak sungguh-sungguh kita kenal, tanpa harus menobatkan mereka sebagai teman.

Di dunia baru, warung kopi dan angkringan itu beralih wujud menjadi media sosial. Di situ kita bisa bebas berbincang dan berkelahi dengan siapa saja, bebas menguping siapa saja, tanpa harus secara sungguh-sungguh menyebut kawan berbincang dan bergelut kita itu sebagai teman betulan.

Makanya, saya pribadi senang nge-add friend berbagai jenis manusia, dan menerima permintaan pertemanan dari berbagai tipe manusia pula. Kadang orang-orang alias akun-akun yang berbeda pandangan dengan saya malah saya ajak “berteman”. Alasan saya minimal ada tiga.

Pertama, demi kesehatan jiwa saya sendiri. Saya kepingin informasi dan sudut pandang yang berseliweran di lini masa saya lebih berwarna, tidak tunggal belaka. Kita tahu, algoritma medsos acapkali membuat kita terperangkap dalam nada tunggal suara-suara. Semakin monoton suara yang kita simak, semakin sempit pandangan kita di ruang yang seharusnya lapang luar biasa.

Kedua, saya ini penulis; penulis butuh objek berupa fenomena-fenomena untuk diolah dan diinterpretasi, dan medsos menyediakan bahan yang banyak sekali. Keliru sekali kalau melihat medsos sebatas sebagai media, sebab ia sudah menjadi laboratorium sosial raksasa. Kalau membatasi diri untuk berteman hanya dengan teman-teman “sungguhan”, kesempatan untuk menyimak isi kepala jutaan orang akan terlewatkan.

Ketiga, saya juga pedagang. Bukan cuma pedagang isu, tapi juga pedagang buku. Semakin luas lingkaran koneksi digital yang saya bangun, semakin laris buku-buku saya, dan semakin tinggi pula kapital yang menggunung di rekening saya. Masak gitu aja kok nggak paham hahaha. (Halo, Kantor Pajak!)

Ringkasnya, ada banyak karakter dan pola yang berubah dari cara berteman kita, dari zaman analog ke zaman digital. Menghadapi ruang digital dengan otak analog akan membuat kita kehilangan banyak kesempatan, dan menjadikan kita tidak beranjak ke mana-mana.

Sialnya, tidak semua orang adalah penulis sekaligus pedagang seperti saya. Maka ketika saya mencoba menasihati teman-teman medsos saya untuk mengubah mindset saat nyemplung ke dunia baru, memangnya saya ini siapa? Lha wong teman mereka beneran juga bukan. Ya suka-suka mereka sendirilah!

Meski demikian saya berharap, ada orang berkirim pesan ke inbox mereka. “Sis, temanmu itu kok sok-sokan banget sih? Ngatur-ngatur orang pakai teori ini-itu, macam jagoan aja.”

Dan yang dikirimi pesan akan geragapan. “Lho lho lho! Sebentar. Iqbal itu memang teman Facebook-ku. Tapi kan bukan teman beneran, Bro….”

Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)

Apple Siap Luncurkan iPhone 16 di Event Akbar September, Ini Bocoran Fiturnya!

JariBijak.com - Apple akan kembali menggelar acara tahunan yang selalu dinanti, kali ini pada...

Ali Mochtar Ngabalin Tegaskan Moderasi Beragama sebagai Niscaya untuk Harmoni dalam Menjalankan Ajaran Islam

JariBijak.com - Secara umum, moderasi berakar dari kata moderat yang berarti sikap pertengahan. Dalam sejarahnya,...

#LegalkanProfesiOjol: Upaya Ojol dan Kurir di Jakarta Memperebutkan Pengakuan Hukum

Jakarta - Sebuah gerakan besar dari para pengemudi ojel online (ojol) dan kurir online...

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here